Gagasan pembentukan Pansus Pilpres
oleh Komisi II DPR, hanya rentetan dari daftar banyak kedunguan yang
selama ini telah dilakukan oleh DPR periode 2009-2014. Saya rasa tidak
perlu ditanggapi terlalu serius, karena tidak akan terwujud. Ini sama
halnya dengan produk UU MD3 yang kini sedang diajukan peninjauannya di
MK oleh berbagai pihak, termasuk PDIP. Saya kira ini merupakan refleksi
dari buruknya kepemimpinan DPR, khususnya kepemimpinan Marzuki Alie
(MA), yang selama memegang jabatan sebagai Ketua DPR entah sudah berapa
banyak memunculkan kontroversi, mulai dari statemen-2 yang tidak bermutu
sampai tindakannya sebagai pimpinan yang terkesan membiarkan hal-hal
seperti itu bisa terjadi. Saya masih tetap konsiten dg pandangan bahwa
MA adalah Ketua DPR RI terburuk sejak Republik Indonesia dibentuk sampai
sekarang.
Gagasan Pansus Pilpres dan pembentukan UU MD3 sejatinya muncul dari para anggota DPR dari parpol-parpol yang hanya memikirkan diri sendiri dan kepentingannya, bukan kepentingan bangsa. Jika ditinjau dari segi praktik politik di negara-negara yang waras manapun, jelas UU itu tidak bisa diterima nalar. Di negara-2 demokratis, parpol pemenang Pileg wajib hukumnya menjadi pimpinan Parlemen. Akrobat hukum dengan memanfaatkan keroyokan koalisi Merah-Putih kemudian mencoba mengkadali nalar sehat itu, sehingga pimpinan DPR dan Komisi-komisinya ditentukan dengan suara terbanyak. Sepintas lalu hal itu seperti masuk akal, tetapi jika dipikirkan lebih lanjut maka tampaklah kelemahan mendasar. Minimum akan muncul pertanyaan: lalu apa gunanya rakyat memilih partai-partai melalui Pileg dg seluruh hasilnya yg menunjukkan ranking besaran kursi mereka di Parlemen? Kalau logika UU MD3 itu dipakai, bisa saja sebuah parpol paling gurem mendudukkan anggotanya sebagai Ketua DPR asal didukung oleh keroyokan koalisi parpol itu. Tetapi, bukankah hal ini sama saja dengan menafikan pilihan rakyat?.
Belum lagi pasal-pasal lain dalam UU MD3 yg baru tsb yang juga sangat berpotensi menghalangi proses pemeriksaan dari KPK. Lalu juga pasal yang memberi peluang terjadinya "politik gentong babi" (pork barrel politics), yaitu pengalokasian dana bagi para anggota Parlemen untuk diberikan kepada Dapil mereka. Ini adalah sebuah cara mempertahankan posisi petahana dan jelas peluang sangat besar bagi korupsi!
Lalu sekarang gara-gara Prabowo ngambek menolak hasil Pilpres dan mundur dari proses Pilpres, direspon dengan munculnya gagasan pembentukan Pansus Pilpres! Anehnya, MA sendiri konon termasuk yang mendukung atau setidaknya membiarkan pebentukan Pansus itu. Apakah hal ini bukan berarti MA sedang melakukan tindakan indisipliner thd partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat yang justru telah menerima hasil Pilpres dan bahkan memberi ucapan selamat kepada Jokowi?
Walhasil, DPR hasil Pileg 2009-2014 adalah sebuah DPR yang gagal merepresentasikan kehendak rakyat secara optimal dan mampu menjadi salah satu soko guru atau pilar demokrasi Konstitusional di negeri ini. Indikatornya adalah ketidak percayaan rakyat yg sangat rendah dan produk-2 yang sering kali tidak nyambung dengan kehendak rakyat, dan kepemimpinan yang buruk. Kita berharap DPR RI hasil Pileg 2014 tidak mengulangi kualitas buruk ini dan dipimpin oleh pemimpin yang jauh lebih bermutu. Semoga!
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2014/07/24/11310421/Usulan.Pembentukan.Pansus.Pilpres.Dinilai.Melawan.Kewarasan.Nasional
Gagasan Pansus Pilpres dan pembentukan UU MD3 sejatinya muncul dari para anggota DPR dari parpol-parpol yang hanya memikirkan diri sendiri dan kepentingannya, bukan kepentingan bangsa. Jika ditinjau dari segi praktik politik di negara-negara yang waras manapun, jelas UU itu tidak bisa diterima nalar. Di negara-2 demokratis, parpol pemenang Pileg wajib hukumnya menjadi pimpinan Parlemen. Akrobat hukum dengan memanfaatkan keroyokan koalisi Merah-Putih kemudian mencoba mengkadali nalar sehat itu, sehingga pimpinan DPR dan Komisi-komisinya ditentukan dengan suara terbanyak. Sepintas lalu hal itu seperti masuk akal, tetapi jika dipikirkan lebih lanjut maka tampaklah kelemahan mendasar. Minimum akan muncul pertanyaan: lalu apa gunanya rakyat memilih partai-partai melalui Pileg dg seluruh hasilnya yg menunjukkan ranking besaran kursi mereka di Parlemen? Kalau logika UU MD3 itu dipakai, bisa saja sebuah parpol paling gurem mendudukkan anggotanya sebagai Ketua DPR asal didukung oleh keroyokan koalisi parpol itu. Tetapi, bukankah hal ini sama saja dengan menafikan pilihan rakyat?.
Belum lagi pasal-pasal lain dalam UU MD3 yg baru tsb yang juga sangat berpotensi menghalangi proses pemeriksaan dari KPK. Lalu juga pasal yang memberi peluang terjadinya "politik gentong babi" (pork barrel politics), yaitu pengalokasian dana bagi para anggota Parlemen untuk diberikan kepada Dapil mereka. Ini adalah sebuah cara mempertahankan posisi petahana dan jelas peluang sangat besar bagi korupsi!
Lalu sekarang gara-gara Prabowo ngambek menolak hasil Pilpres dan mundur dari proses Pilpres, direspon dengan munculnya gagasan pembentukan Pansus Pilpres! Anehnya, MA sendiri konon termasuk yang mendukung atau setidaknya membiarkan pebentukan Pansus itu. Apakah hal ini bukan berarti MA sedang melakukan tindakan indisipliner thd partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat yang justru telah menerima hasil Pilpres dan bahkan memberi ucapan selamat kepada Jokowi?
Walhasil, DPR hasil Pileg 2009-2014 adalah sebuah DPR yang gagal merepresentasikan kehendak rakyat secara optimal dan mampu menjadi salah satu soko guru atau pilar demokrasi Konstitusional di negeri ini. Indikatornya adalah ketidak percayaan rakyat yg sangat rendah dan produk-2 yang sering kali tidak nyambung dengan kehendak rakyat, dan kepemimpinan yang buruk. Kita berharap DPR RI hasil Pileg 2014 tidak mengulangi kualitas buruk ini dan dipimpin oleh pemimpin yang jauh lebih bermutu. Semoga!
Simak tautan ini:
http://nasional.kompas.com/read/2014/07/24/11310421/Usulan.Pembentukan.Pansus.Pilpres.Dinilai.Melawan.Kewarasan.Nasional
0 comments:
Post a Comment