Rumah tidak boleh jadi tempat ibadah rutin, kata Kapolri. Tetapi
menurut Peraturan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006
tentang Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah,
lain lagi. Ibadah, menurut aturan tsb, terbagi menjadi dua, yaitu
ibadah permanen dan ibadah keluarga. Lalu apa yg dimaksud dengan ibadah
rutin oleh Kapolri? Apakah yg dia maksud adalah kategori "ibadah
permanen" tsb? Lalu jika ummat Islam mel;akukan ibadah rutin, misalnya
shalat 5 waktu di rumah mereka masing-2, apakah itu termasuk ibadah
rutin atau ibadah keluarga? Bagaimana pula dengan ibadah rosario ummat
Katolik di Sleman yang diserang oleh segerombolan orang tsb?
Penjelasan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman (St), malah tidak jelas dan
menimbulkan kontroversi. Setidaknya sudah ada reaksi keras dari Romo
Benny Sustryo (BS), Sekretaris Dewan Nasional Setara Institut yang
menilai bahwa Kapolri "tidak mengerti peraturan karena melarang rumah
dijadikan sebagai tempat ibadah" tsb. Saya juga melihat kejanggalan
penjelasan tsb, karena sebagai pejabat negara yg memimpin Polri, St
seharusnya berpegang kepada aturan formal, bukan penafsiran yang mungkin
saja hanya dinyatakan secara spontan dan reaktif. Ketimbang menyalahkan
para pelaku ibadah, seharusnya Kapolri segera memerintahkan melakukan
pengejaran, penangkapan, penyidikan, dan proses hukum yang cepat.
Bandingkan dg sikap Gubernur DIY, Ngarso Dalem Sultan HB X. Beliau dg
tegas mengatakan "(s)udah tidak perlu dialog lagi, sekarang bukan
saatnya dialog [dengan pelaku kekerasan]. Kalau ada kekerasan diproses
saja, lakukan tindakan hukum," (http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/1455457/Sultan.HB.X.Tak.Perlu.Lagi.Dialog.dengan.Kelompok.Anarkistis).
Sikap seperti ini semestinya ada pada aparat keamanan seperti Polri.
Kalau Kapolri malah mbulet dan membuat statemen yg bikin salah paham
seperti di atas, maka saya ragu akan ada penyelesaiana yang tuntas,
cepat dan menyeluruh terhadap persoalan kekerasan berkedok agama. Yang
akan terjadi adalah perdebatan berlama-lama, bertele-tele, dan mbulet
antara pihak Polri, LSM, ormas, Pemda, dan publik yang pro-kontra. Para
pelaku kekerasan malah tertawa terpingkal-pingkal dan melanjutkan
kegiatannya!
Polri sudah jelas merupakan pihak yang paling
bertanggungjawab utk menuntaskan persoalan ini. Publik sudah jenuh dan
bahkan muakj dengan respon para elit Polri yg cenderung malah
menyalahkan para korban. Ini bukan hanya terjadi pada ummat Krfisten,
tetapi juga ummat Islam sendiri yang kebetulan menjadi korban kekerasan.
Malah yang lucu, Polri mengatakan bhw pihak korban seharusnya melapor
jika ada pihak-pihak yang melakukan tindakan kekerasan. Kenapa lucu?
karena semestinya jajaran Polri yg punya satuan intelijen harus sudah
lebih dulu mengetahui karena mereka bertugas melakukan deteksi dini
terhadap ancaman kamtibmas! Kalau masyarakat yang melakukan kegiatan
seperti itu malah aneh, karena nanti masyarakat akan saling menginteli
sesama warga!
Kapolri dan seluruh jajarannya, seharusnya paham
dan merasa bahwa rakyat semakin cenderung tidak percaya kepada kemampuan
aparat kepolisian melindungi keamanan dan ketertiban masyarakat. Sama
juga dengan kecenderungan rakyat yang menganggap jajaran Polri adalah
termasuk yang paling korup di negeri ini. Kalau Kapolri dan seluruh
jajarannya tetap menganggap tidak ada masalah, dan menggunakan
pendekatan menyalahkan korban (blaming the victims), maka rakyat akan
benar-2 meninggalkan Polri. Akibatnya, akan terjadi pengadilan jalanan
(street justice) dan kekerasan tanpa henti di seluruh Indonesia. Saya
yakin, Kapolri dan siapa pun yg waras nalarnya tak akan suka dengan
prospek yg seperti itu.
Simak tautan ini:
http://news.detik.com/read/2014/06/03/220250/2598959/10/kapolri-tidak-boleh-rumah-jadi-tempat-ibadah-itu-aturan
Wednesday, June 4, 2014
Home »
» KEKERASAN DAN PENDEKATAN "BLAMING THE VICTIM"
0 comments:
Post a Comment