Dolly, kawasan pekerja seksual terbesar di Asia Tenggara yang berada di Surabaya, hari ini direncanakan ditutup untuk seterusnya oleh Pemkot Surabaya. Peristiwa ini sudah jelas mennciptakan kontroversi antara yang setuju dan yang menolak. Dengan segala macam argumen, mulai dari yang moralistik sampai yang paling pragmatik. Inilah salah satu kasus ujian (test case) bagaimana sebuah Pemerintah Daerah yang dipimpin seorang perempuan, dari parpol yang nasionalis (PDIP), dan sangat populer di seantero tanah air, akan membuat sebuah kebijakan publik yang berdampak multidimensi. Dengan kata lain, kebijakan publik Walikota Surabaya, Tri Rismaharini (TR) ini memiliki implikasi yang sangat jauh, mendalam, dan historis. Dan sebagai resikonya, jika kebijakan ini mengalami hambatan apalagi sampai gagal dilaksanakan, maka yang akan menjadi tumbal utama adalah beliau sendiri.
Di radio El-Shinta pagi tadi (17/6/14) ada seorang pendengar acara dialog pagi yang menyampaikan pandangan menarik dan, setidaknya untuk saya, cukup menggugah. Beliau bertanya kepada sang pemandu acara, "kenapa di negeri ini begitu sulit menutup sebuah lokalisasi PSK seperti Dolly, sementara begitu mudah untuk menyegel dan menutup Gereja, membakar Masjid Ahmadiyah, dan menghalangi pembangunan rumah ibadah?" Sebuah pertanyaan sekaligus kritik yg menghunjam ke dalam sanubari dan kewarasan nalar dan nurani sekaligos mempertunjukkan ironi dalam masyarakat yang, konon, kabarnya, religius, moralistik, dan pluralistik. Bukankah Dolly adalah sebuah tempat yg terang-2an menjadi tempat yang secara moral, legal, sosial, agama dianggap tidak baik bahkan melanggar kesemua norma tsb? Tetapi ketika kemudian ada upaya menutupnya, maka sontak terjadi sebuah reaksi penolakan yang jauh lebih 'seru' ketimbang ketika terjadi penyiksaan jemaat Katolik yg sedang beribadah Rosario di Sleman, atau pelarangan pembangunan Gereja GKI Yasmin atau Gereja HKBP di Bekasi? Bahkan jika dibanding dengan pengusiran warga Ahmadiyah dan Syi'ah pun protes-2 menolak penutupan Dolly tidak kalah besar di media dan disuarakan oleh para ilmuwan, pakar, politisi, dll.
Saya tidak dalam posisi memberikan judgement terhadap kebijakan Pemkot Surabaya. Namun saya ingin mengajak para sahabat memikirkan kondisi kemasyarakatan kita yang kian hari kian kompleks, saling terkait, dan kontradiktif. Ini pada gilirannya mengajak kepada kita untuk tidak lagi bisa memakai standar dan cara berpikir hitam putih, legalistik, dan bahkan moralistik. Sayangnya, para elite penguasa, politisi, dan elite masyarakat, termasuk agamawan, cendekiawan, aktivis, ormas masih belum mampu merubah cara dan bingkai berfikir tsb. Karena itu mereka tidak pernah memikirkan bahwa pertanyaan seperti yg dilontarkan pendengar ElShinta itu memiliki makna yang sangat penting dan menukik pad inti persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan NKRI.
Soal Dolly, dengan demikian tidak mungkin dipisahkan dengan kompleksitas kemasyarakatan dan menantang agar cara berfikir dan memandang masalah di Republik ini mengalami perubahan fundamental. Masyarakat Indonesia, jelas bukan seperti di Timur Tengah, tetapi juga tidak mirip dengan masyarakat di negara-2 maju di Barat dan Asia Timur. Diperlukan keberanian dan sekaligus empati untuk memandang soal-2 yang sensitif tetapi bertolak belakang seperti penutupan Dolly dan pelarangan pembagunan Gereja dan perusakan Masjid dari perspektif lain yang lebih komprehensif dan holistik. Jika tidak, maka masyarakat ini akan senantiasa terombang-ambing dan menjadi semacam tontonan kemunafikan yang luar biasa bagi komunitas antar-bangsa.
Dan percayalah bahwa kasus-kasus seperti Dolly dan Gereja GKI Yasmin akan semakin banyak berseliweran dan muncul menantang kita. Pikirkanlah!
Simak tautan ini:
http://www.merdeka.com/peristiwa/politikus-wanita-pdip-penutupan-dolly-dilematis.html
0 comments:
Post a Comment