Pernyataan tokoh PAN, Amien Rais (AR), bahwa Pilpres
2014 dapat diumpamakan seperti Perang Badar, masih terus menjadi
polemik dan bahkan sudah ada pihak yang menudingnya sebagai pemicu
kekerasan agama, khususnya yg terjadi di
Sleman, Yogya. Kendati di pihak AR sudah mencoba membuat klarifikasi
mengenai maksud perumpamaan tsb; yakni bukan perangnya tetapi semangat
juang menghadapi tantangan yg besar yang dimaksud oleh mantan Ketum PP
Muhammadiyah tsb. Toh, klarifikasi tinggal klarifikasi. Sang pengarang
sudah tidak lagi bisa mengontrol pemaknaan atas karangannya. Pemaknaan
publik thd metafora "Perang Badar" sudah terlanjur melebar dan
beranak-pinak. Ini juga yg dialami oleh PDIP dengan isu pengintelan
Khotbah yang juga menciptakan kontroversi di ranah publik.
Bangsa Indonesia adlah bangsa yg menganggap dirinya religius dan toleran, tetapi ternyata tipis kulitnya dan mudah tersinggung jika isu agama muncul. Dalam Pemilu dan pilkada makin sering terdengar penggunaan alegori, lambang, istilah, metafora, dll yg diambil dari agama untuk berkampanye. Bahkan kita pernah dengar sentimen agama dipakai utk memojokkan calon pasangan Gubernur DKI (Jokowi-Ahok). Pilpres pun para pendukung pasangan-2 capres ramai-2 mendaur ulang statemen-2 bernuansa primordial, khususnya agama. Pesan agama menjadi semacam komoditi politik yg bisa diperjual belikan dan dipertukarkan untuk mencari keuntungan, baik dukungan suara maupun uang. Para Kyai, Ustadz, Khotib, agamawan, petinggi ormas agama, dll kemudian disulap menjadi jurkam-2 yang menggunakan ayat dan ajaran agama untuk saling cerca dan tuding sambil mendukung pasangan capres masing-2! Perkara yg dituding juga sesama Muslim, tampaknya tak terlalu diambil pusing.
Karena ajaran agama sering sangat terkait dengan tafsir, maka potensi utk kontroversipun sangat tinggi. Kasus statemen AR soal perang Badar menunjukkan betapa mudahnya sebuah simbolisasi kemudian lepas dari konteksnya dan kemudian menjadi wahana penggelaran kepentingan politik (capres). Tentu saja pihak lawan akan melakukan kontra-wacana yg ditujukan untuk membendung penggelaran tsb. Hasil akhirnya adalah terjadinya polemik dan sindir menyindir dan bahkan perluasan konflik, dari sekadar wacana menjadi pemicu kekerasan.
Agama selalu diklaim mengajarkan kesantunan (civility) baik pada tataran pribadi maupun kolektif. Namun fakta yg ada bisa sebaliknya: para pengguna wacana agama justru menampilkan wajah sangar dan perilaku beringas, termasuk kepada sesama pemeluk agama itu sendiri. AR dan para elit politik serta agamawan, sejatinya tahu persis bahwa wacana keagamaan dalam politik sangatlah sensitif dan bisa berdampak jauh. Dalam masyarakat dan negara yg pluralistik dan demokratis, membawa ajaran agama dalam ranah politik tentunya tidak dilarang. Hanya diperlukan kehati-2an dalam mengemasnya sehingga tidak berubah menjadi alat kampanye hitam yg justru mencemari ajaran dan ummat beragama itu sendiri..
Bangsa Indonesia adlah bangsa yg menganggap dirinya religius dan toleran, tetapi ternyata tipis kulitnya dan mudah tersinggung jika isu agama muncul. Dalam Pemilu dan pilkada makin sering terdengar penggunaan alegori, lambang, istilah, metafora, dll yg diambil dari agama untuk berkampanye. Bahkan kita pernah dengar sentimen agama dipakai utk memojokkan calon pasangan Gubernur DKI (Jokowi-Ahok). Pilpres pun para pendukung pasangan-2 capres ramai-2 mendaur ulang statemen-2 bernuansa primordial, khususnya agama. Pesan agama menjadi semacam komoditi politik yg bisa diperjual belikan dan dipertukarkan untuk mencari keuntungan, baik dukungan suara maupun uang. Para Kyai, Ustadz, Khotib, agamawan, petinggi ormas agama, dll kemudian disulap menjadi jurkam-2 yang menggunakan ayat dan ajaran agama untuk saling cerca dan tuding sambil mendukung pasangan capres masing-2! Perkara yg dituding juga sesama Muslim, tampaknya tak terlalu diambil pusing.
Karena ajaran agama sering sangat terkait dengan tafsir, maka potensi utk kontroversipun sangat tinggi. Kasus statemen AR soal perang Badar menunjukkan betapa mudahnya sebuah simbolisasi kemudian lepas dari konteksnya dan kemudian menjadi wahana penggelaran kepentingan politik (capres). Tentu saja pihak lawan akan melakukan kontra-wacana yg ditujukan untuk membendung penggelaran tsb. Hasil akhirnya adalah terjadinya polemik dan sindir menyindir dan bahkan perluasan konflik, dari sekadar wacana menjadi pemicu kekerasan.
Agama selalu diklaim mengajarkan kesantunan (civility) baik pada tataran pribadi maupun kolektif. Namun fakta yg ada bisa sebaliknya: para pengguna wacana agama justru menampilkan wajah sangar dan perilaku beringas, termasuk kepada sesama pemeluk agama itu sendiri. AR dan para elit politik serta agamawan, sejatinya tahu persis bahwa wacana keagamaan dalam politik sangatlah sensitif dan bisa berdampak jauh. Dalam masyarakat dan negara yg pluralistik dan demokratis, membawa ajaran agama dalam ranah politik tentunya tidak dilarang. Hanya diperlukan kehati-2an dalam mengemasnya sehingga tidak berubah menjadi alat kampanye hitam yg justru mencemari ajaran dan ummat beragama itu sendiri..
Simak tautan ini:
0 comments:
Post a Comment