Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalh ormas kemahasiswaan bernuansa NU tetapi tidak mau dianggap bagian dari NU. Dengan bersikukuh sebagai ormas "independen" (yg diproklamasikan pada 1972), PMII merasa punya saham dan hak terkait NU, tetapi merasa risih jika NU menginginkan agar ia berada di dalamnya. Maka tidak aneh jika elite PMII sering menampilkan diri seperti orang-orang yang oportunis, mau enaknya tetapi tidak mau susahnya. Ini terlihat jika sudah berurusan dengan kursi kekuasaan. Para alumnus PMII cenderung mengidap semacam rasa punya privilege untuk mendapat porsi kekuasaan, baik melalui NU maupun organisasi politik yg terkait dengan NU. Implikasinya, seringkali muncul kecemburuan yang tidak nalar jika ada orang yang latarbelakangnya non-PMII atau yang tak pernah terlibat dalam organisasi seperti itu bersaing untuk mendapatkan posisi atau karena prestasinya ditunjuk untuk menempati posisi strategis. Psikologi seperti ini mengakibatkan munculnya sebuah mentalitas dan perilaku yang sangat tidak sehat dan destruktif bagi ormas seperti NU dan/atau organisasi politik terkait NU.
Padahal, jika dilihat sejarah kenapa PMII menjadi "independen" dari NU, maka jelas itu adalah sebuah respon terhadap kondisi ormas Islam teresar tsb yag saat itu kental terlibat politik pasca jatuhnya Orla. NU menjadi parpol sendiri dan kemudian menjadi bagian dari parpol. Walhasil, keindependensian PMII sejatinya adalah langkah yang taktis atau paling banter strategis, bukan prinsipil. Dan buktinya, para alumni PMII juga selalu memakai NU dan parpol berafiliasi NU jika mereka memiliki ambisi politik. Maka bagi saya, independensi PMII sejatinya tidak lebih dari semacam ideologi dan alat bargaining politik bagi elit organisasi kemahasiswaan tsb ketika mereka bermain politik. Independensi PMII sama sekali tak terlihat di ranah selain politik. Apakah PMII pernah memiliki kajian atau wacana intelektual yang berani 'tampil beda' dengan NU di bidang-bidang fiqih, masalah HAM, masalah ekonomi, hankam, ideologi dll? Rasanya masih sepi!
Jika kemudian para ulama NU menghimbau agar PMII tidak keukeuh dg keindependensian yg setengah hati itu dan menjadi bagian dari banom NU, tentu hal itu adalah kepedulian yg sah, rasional, dan kontekstual. Secara pragmatis, keberadaan PMII bisa lebih jelas "kelaminnya", serta sesuai belaka dengan NU yang saat ini bukanlah parpol. PMII juga akan mampu lebih fokus sebagai organisasi kecendekiawanan. Bersama banom-2 lain seperti ISNU, ia akan bisa memberikan kontribusi yg lebih konstruktif kepada warga nahdliyyin dan NU karena PMII bukan lagi sekadar wahana mencari kekuasaan tetapi karena kemaslahatan jamÃyyah, ummat, dan bangsa melalui kecendekiawanan dan kepedulian terhadap masyarakat. Alumni-2 PMII di masa depan tidak akan dirundung sindroma "terancam'' di dalam persaingan vis-a-vis orang-orang NU yg berlatarbelakang bukan PMII, baik ketika berada di jam'iyyah NU, parpol, atau di manapun.
Yang lebih penting lagi, PMII kemudian menjadi organisasi yg jelas tujuan dan peran yang diharapkan darinya, yaitu kecendekiawanan yg bermanfaat bagi pemberdayaan kaum nahdliyyin, masyarakat sipil dan bangsa Indonesia. Bukan menjadi wadah dari generasi muda nahdliyyin yang terpelajar namun tidak memiliki orientasi yang jelas. Sudah waktunya PMII dan anggotanya bangun dari keterlelapan tidur dan mimpiserta menghadapi realitas dunia di abad ke 21. Semoga!
Baca tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2014/05/30/157368/PMII-Kesal-Mau-Ditarik-ke-NU-Lagi-
0 comments:
Post a Comment