Sesumbar para pendukung Atut Chosiyah (AC)
untuk membela Gubernur Banten itu sampai titik darah penghabisan,
adalah potret paling buram dari kondisi politik pasca-reformasi. Membela
seseorang, termasuk orang yang jadi tersangka, adalah suatu
kewajaran bahkan hak. Tetapi membela tanpa memakai landasan nalar dan
prosedur yang tepat, bukan saja merupakan kebodohan tetapi juga akan
menghancurkan demokrasi. Para pembela AC jelas punya hak membela
bossnya. Namun cara pemaksaan kehendak seperti yang dipertontonkan di
KPK (sehingga perlu diusir Polisi) jelas bukan sebuah cerminan prosedur
demokrasi. Apalagi jika argumen mereka malah membawa-2 Tuhan dan apa
yang disebut kebenaran "hakiki" itu. Apakah lalu yang mereka teriakkan
itu mewakili kebenaran hakiki yang langsung dari Tuhan? Inilah bukti
nalar yang tak terpakai dalam wacana publik. KPK dan para penegak hukum
tidak boleh surut dengan ancaman dan intimidasi seperti ini. Hukum harus
ditegakkan dan proses demokrasi harus dipertahankan dan dibela. Biarkan
saja para pendukung AC melaksanakan hak mereka, asal tidak memaksakan
kehendak atau melakukan kekerasan. Jika mereka menunjukkan ketidak
patuhan terhadap prosedur dan aturan main yang berlaku, para aparat
keamanan juga harus bertindak tegas. Dan saya cenderung meyakini,
dukungan yang seperti itu akan surut ketika uang juga makin seret. Itu
bukanlah dukungan yang muncul dari nalar dan nurani yang sehat. Tetapi
lebih karena fanatisisme, primordialisme, dan uang belaka.
Selanjutnya baca tautan ini:
http://news.okezone.com/read/2013/12/21/339/915696/jawara-bakal-bela-atut-sampai-titik-darah-penghabisan
0 comments:
Post a Comment