Terus terang saya semakin heran dengan
pembelaan diri (apologia) Denny JA (DJA) tentang tudingannya thd sidang
Itsbat. DJA menggunakan ibarat bahwa untuk mengetahui nikmatnya makanan,
orang tdk perlu jadi ahli gizi. Jadi dg ibarat itu DJA ingin
berdalih bahwa dirinya punya kapasitas utk komentar soal penentuan
(itsbat) 1 Ramadhan/ 1 Syawal. Saya kira, kalau nalar DJA dipakai, akan
banyak jurusan di universitas ditutup dg alasan tak perlu jadi ahli dan
sarjana dalam satu bidang untuk bisa 'tahu' dan menilai sesuatu. Buat
apa ada jurusan Ilmu Politik , Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dll?
Kan semua orang juga tahu dan melakukan kegiatan politik, pendidikan,
sosial, budaya, dll tanpa harus jadi ahli. Kita perlu bertanya, buat apa
DJA repot-2 mendirikan lembaga survei dg klaim kecanggihan dan
keilmiahan, kalau ternyata hasilnya juga ada miripnya dengan spekulasi
orang jalanan? Banyak orang tanpa kredensial doktor dalam ilmu
sosial-politik pun bisa omong soal siapa yg bakal unggul dlm Pemilu atau
Pilkada. Apakah lalu DJA akan setuju jika dibilang kualitas surveinya
sama dengan obrolan warung kopi? Ini mengingatkan saya akan sebuah
Hadits yg menggambarkan adanya manusia yang "tidak tahu bahwa dirinya
tidak tahu tetapi menganggap dirinya tahu." DJA harusnya paham bhw soal
Itsbat bukan cuma soal 'common sense' belaka, tetapi juga terkait dengan
bidang keilmuan (hard science termasuk astronomi), soal kenegaraan,
ilmu keagamaan (termasuk fiqih), dll. DJA jelas sedang merendahkan
dirinya sendiri dengan perbandingan yg dia buat. Memang benar semua
orang berhak komentar, tetapi kalau seorang terpelajar bangga dengan
kengawuran nalarnya, saya jadi bertanya: sudah demikian rendahkah mutu
bangsa ini? Na'udzubillah min dzalik!!
Selanjutnya baca tautan ini:
http://www.rmol.co/read/2013/08/12/121619/Denny-JA-Melanjutkan-Polemik-Sidang-Isbat-Hari-Raya-
0 comments:
Post a Comment