Saya tak sepakat jika kehadiran Ketum PBNU,
Prof Dr. KH Said Aqil Siradj (SAS), dianggap sebagai politisasi thd NU.
Hemat saya, kendati kehadiran SAS bersama tokoh-2 yg mewakili 13 ormas
Islam itu sah-sah saja jika ditafsirkan secara politik,
namun tidak tepat jika dicurigai sebagai politisasi NU. Kalau toh SAS
menghadiri undangan Presiden SBY, hal itu justru harus dimaknai sebagai
implementasi khittah NU, yakni komitmen pada prinsip adil dan imbang.
Kultur politik yg diikuti NU adalah memberikan dukungan kepada
kepemimpinan yang legitimate secara legal formal dan moral, walaupun
bisa saja menyampaikan pandangan-2 yang kritis demi kemaslahatan umum.
NU tidak pernah mendukung pemberontakan (bughat), karena hanya akan
menciptakan fitnah yang lebih besar bagi ummat. Demikian juga model
oposisi radikal thd penguasa, hanya menjadi opsi NU ketika semua upaya
(ikhtiar) telah ditempuh namun diabaikan; sehingga berpotensi
menimbulkan kerusakan yang lebih luas. SAS dan NU mendukung kepemimpinan
Pak SBY karena memang belum ada alasan yg nalar bagi pemakzulan,
sebagaimana tuntutan dari sebagian kelompok kepentingan, spt MKRI dan
GPKN. NU memang bukan organisasi politik, kendati pernah menjadi parpol
sebelum kembali ke Khittah pd 1984. Tetapi tak berarti bahwa NU lantas
a-politis. Sebagai organisasi masyrakat sipil, NU tetap peka dan aktif
mengikuti semua perkembangan yang terjadi di segala bidang kehiduapan
masyarakat, bangsa, dan negara.
Selanjutnya baca tautan ini:
polhukam.rmol.co/read/2013/03/15/102424/Sampaikan-Dukungan-Politik-ke-Istana,-Said-Aqil-Layak-Dievaluasi-
Friday, March 15, 2013
Home »
» TERLALU NAIF MENUDING SAID AQIL SIRADJ POLITISASI NU
0 comments:
Post a Comment