Friday, August 17, 2012
Home »
MISCALLENOUS
» WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (16A): DALAM RANGKA HUT KEMERDEKAAN RI KE 67
WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (16A): DALAM RANGKA HUT KEMERDEKAAN RI KE 67
(Hari masih pagi dan dingin saat saya masuk di tempat peristirahatan Gus Dur. Suara tadarrus Al-Qur'an mengalun lembut dan ternyata beliaulah yang sedang mengaji di pagi yang bening itu. Cahaya keemasan dari lampu di ruangan itu menambah kesyahduan suasana. Dan untuk beberapa saat saya ikut mendengarkan tadarrus Gus Dur yag kalau tak salah sedang membaca Surah Maryam. Begitu beliau menyelesaikan tadarrusnya, saya pun mendekat dan menyampaikan salam kepada beliau).
"Assalamu'alaikum, Gus..." Saya menyapa beliau, menyalami dan mencium tangannya.
"Salam... eh, masya Allah, Kang, sampean kok pagi-pagi banget. Waras, tah?" Sambut Gus Dur dengan khas.
"Inggih Gus, kebetulan saya juga tidak sedang di Indonesia, lagi di Amerika sejak tanggal 9 kemarin." Jawab saya.
"Oh, jadi menghadiri wisuda putrinya ya? Selamat lah, Kang. Lha terus gimana anaknya, pulang atau sekolah terus di Amerika?" Tanya Gus Dur
"Kayaknya pulang dulu Gus, istirahat dulu sambil cari pengalaman di dunia nyata barang setahun dua. Kasihan juga sudah tujuh tahun sekolah jauh dari Ibu dan Bapaknya.."
"Saya kira memang baik begitu, kan bisa disambung nanti kalau sudah puas di rumah. Ngomong-ngomong kok pagi-2 sudah ke sini, Kang?" Gus Dur bertanya.
"Ya, Gus, kan ini kebetulan sedang tujuh belasan dan mendekati Iedul Fitri juga. Jadi saya ingin menyampaikan selamat HUT Kemerdekaan kepada njenengan yang termasuk pemimpin dan cucu pendiri negara.."
"Terimakasih Kang, memang kita ini mesti selalu mengingat sejarah. Semakin maju sebuah bangsa, ia akan semakin menyadari akar kesejarahannya, karena dengan kesadaran itulah jangkar keberadaannya akan kokoh dan tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan zaman." Terang Gus Dur panjang-lebar.
"Makanya Bung Karno pernah bilang "Jas Merah", jangan sampai melupakan sejarah, ya Gus?"
"Benar. Sayangnya justru kesadaran sejarah itulah yang problematik saat ini, makanya lalu bangsa Indonesia mengalami disorientasi.." Kata beliau
"Maksudnya disorientasi itu giman, Gus, dan contoh konkretnya apa?" Saya sedikit memotong penjelasan beliau.
"Artinya ya menjadi kurang jelas arah yang dituju oleh bangsa Indonesia dan melenceng dari kehendak para pendiri bangsa (founders) kita. Contohnya ya seperti sampean alami, sudah mengalami proses reformasi lebih dari satu dasawarsa tetapi kondisi politik, ekonomi, sosial budaya, dan keamanan masih belum stabil dan malah mengalami berbagai degradasi. Korupsi sangat meruyak dan belum ada tanda-tanda teratasi atau direm, kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Belum lagi kesenjangan kesejahteraan antara masyarakat kota-desa dan daerah-daerah. Walaupun konon pertumbuhan ekonomi tinggi dan dipuji negara-negara maju, tetapi rakyat tidak merasakan hal itu kan Kang?"
"Namun Indonesia sekarang menjadi anggota G-20 lho Gus, jangan lupa. Juga bisa membantu IMF segala. Belum pernah negara kita sehebat itu, kan?" Saya coba membantah.
"Halah.. wong gitu saja kok puas. Lha kan pengakuan itu yg penting kan dari rakyatnya sendiri, bukan negara-2 yang memang mau memuji karena punya kepentingan. Apalagi soal membantu IMF, itu kalau saya masih ada di Jakarta, pasti saya kecam habis. Ora ilok, itu. Masak rakyat masih membutuhkan segala macam keperluan dasar, termasuk infrastruktur kok malah uang rakyat dipakai untuk hal-hal yang terkesan gagah-gagahan. Coba sampean pikir, lha hutangnya negeri kita saja masih bejibun kok malah bergaya memberi pinjaman. Sudah gitu ke IMF lagi, lembaga yang dulu bikin kita tergantung dan mengalami krisis moneter.." Gus Dur menjadi agak tinggi nadanya.
"Lalu soal kebangsaan kita sekarang menurut njenengan bagaimana Gus?" Saya mencoba mengalihkan pembicaraan
"Tidak jauh beda dan malah kalau tidak diatasi segera secara massif, akan berakibat serius karena Indonesia sangat terbuka bagi pengaruh-pengaruh dan perubahan global."
"Diagnosanya kira-kira gimana Gus? Apakah akan terjadi semacam Balkanisasi karena makin banyaknya kekuatan-kekuatan sentrifugal saat ini?"
"Bisa jadi lho Kang. Saya lihat berbagai kasus konflik horizontal yg kemudian menggunakan artikulasi primordial, dan kemudian ditopang oleh ideologi dan gerakan trans-nasional serta globalisasi, semuanya bermuara pada penguatan tarikan sentrifugal tersebut. Kan globalisasi cenderung menciptakan hasrat kemandirian, sementara ideologi dan gerakan trans-nasional mencoba mencabut akar kebangsaan untuk diarahkan kepada sebuah bentuk solidaritas Pan-Islamisme. Sementara konflik horizontal, walaupun akarnya sosial-ekonomi, bisa diubah menjadi kehendak untuk berpisah dari ikatan dan kesepakatan menjadi sebuah bangsa. Ingat kata Ben Anderson bahwa nasinalisme sejatinya kan sebuah masyarakat yang "dibayangkan" oleh sekelompok orang. Kalau bayangan makin kabur kan ikatan kebangsaan juga kedodoran. Lalu bagaimana dengan proses menegara yang selama ini dibangun dan dikembangkan?"
"Wah kok jadi rada serem ya gus, prognosisnya?" Saya bertanya.
"Serem atau tidak ya memang harus dihadapi dengan tegar. Nah, tugas pemimpin seharusnya berbicara dengan rakyat tentang masalah-masalah keberadaan kita yang memang menghadapi ancaman itu. Bukan kok malah mencoba menghibur diri dan berbangga karena sudah jadi anggota G-20. Lha jadi anggota Masyarakat Ekonomi Eropa saja bisa amburadul kayak Spanyol, Yunani, dan nanti disusul negara-2 lain gitu kok Kang..."
"Iya juga Gus, dan yg saya heran malah kini semangat keindonesiaan tergerus oleh semangat-semangat identitas lain sehingga kita makin tersaingi oleh negeri-negeri jiran...""Lha ya jelas, toh Kang. Karena negari-2 jiran itu memang semua berusaha berdiri tegak dan konsisten pada akar sejarah tadi. Walaupun Malaysia, umpamanya, adalah negara yg menyatakan mengakui Islam sebagai agama negara, tetapi tetap saja memertahankan kesejarahan Melayu sebagai jangkar kebangsaan, sambil merangkul etnis lain sebagi bagian integral. Lha kalau bangsa Indonesia, makin ke sini pemimpinnya malah terpilah-pilah dalam berbagai orientasi. Hari gini masih bicara kekuatan Islam versus non Islam, misalnya. Lha lalu kapan akan menjadi kekuatan kebangsaan?"
"Tapi Gus, mohon maaf, kok yang dianggap mewakili ideologi nasionalis juga sepertinya sekarang suka main-main dengan jargon-jargon agama?"
"Ya karena saking bodohnya saja pemimpinnya. Dikiranya kalau bisa memakai jargon agama lalu akan banyak dukungan yg diperoleh. Tidak tahunya malah disusupi oleh kekuatan sentrifugal tadi dan memperlemah soliditas organisasinya sendiri." Kata Gus Dur menjelaskan.
"Akhirnya menjadi sulit Gus bagi rakyat kebanyakan untuk mencari rujukan atau bahkan pegangan pemimpin dan organisasi mana yang konsisten dengan akar kesejarahan dan kebangsaan kita."
"Tapi saya selalu percaya kepada kebijaksanaan rakyat, kok Kang. Dari dulu saya begitu, makanya saya sering jalan silaturrahim kemana-mana sambil menyirapi bagaimana sikap rakyat. mereka memang diam dan seperti tak peduli atau tidak tahu. Padahal mereka cukup mafhum dengan cara pemahaman mereka, sehingga mereka tidak akan mengikuti pemimpin-2 seperti yang sampean katakan tadi. Rakyat Indonesia termasuk penyabar..."
"Lha sampai kapan Gus kalau sabar melulu, sementara kita sebagai bangsa makin ketinggalan..."
"Lho sampean kok jadi ikut kurang sabar to Kang, memang Indonesia itu beda dengan negara-2 lain. Sangat kompleks dan memiliki kerumitan yang luar biasa. Bayangkan saja, secara kultural ada yang sudah sampai ke peradaban pos-modern seperti sampean, tetapi ada juga yang masih berada pada peradaban berburu dan meramu. Belum lagi yang di antara keduanya, dan sejarah kolonialisme yg berabad-abad. Indonesia bukan Amerika yg rakyatnya imigran dan banyak yg membawa peradaban yg sudah maju. Bangsa Amerika relatif lebih "mudah" diatur dan diarahkan ketimbang bangsa seperti kita yang sangat cair, heterogen, dan berlapis-lapis ini."
"Karena itu bangsa kita perlu pemimpin yang juga berbeda, ya Gus?"
"Benar dan itu tidak mudah atau segera. Tetapi kita beruntung diberi Tuhan seorang pendiri negara seperti Bung Karno dan juga para pendiri lain seperti Bung Hatta, Syahrir, Tan Malaka, mBah Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, dan lain-lain itu. Mereka kan mewakili berbagai aliran dan heterogenitas bangsa. Jadi generasi berikutnya harus mempelajari bagaimana para pendiri bangsa itu mampu menciptakan sebuah proyek sejarah yang bernama Negara-bangsa Indonesia itu.""Lagi-lagi kuncinya di kesadaran sejarah, ya Gus?"
"Persis, kita kembali lagi kepada awal pembicaraan tadi, betapa pentingnya kesadara sejarah bagi kesinambungan bangsa dan negara ke depan."
"Maturnuwun Gus atas pencerahanya menyambut Ultah RI ke 67 ini. Semoga dibaca para Gusdurians dan juga siapapun yang memiliki semangat kebangsaan, sehingga masih bisa optimis dan sabar, hehehe..." Canda saya.
"Amin, amin Kang. Oh ya salam saya kepada semua pembaca Forum sampean, dan selamat merayakan Idul Fitri nanti, Minal Aidin wal Faizin.."
"Inggih Gus, nyuwun pamit dulu, Assalamu"alaikum Gus" Kata saya sambil salaman dan mencium tangan beliau."Salam Kang.. Salam say juga untuk Mbakyu dan putri sampean.."
"Insya Allah saya sampaikan Gus..." Kata saya sambil beranjak pergi...
0 comments:
Post a Comment