(Suasana kediaman alamaghfurlah Gus Dur agak temaram, namun udara beraroma mawar. Beliau sedang tafakkur usai 'Ashar saat saya sowan. Suara musik atau alunan pengajian Al-Qur'an tumben tidak terdengar, membuat kekhusyukan sangat terasa). Gus Dur agar kaget ketika saya mengucapkan salam:
"Assalamu'alaikum Gus..."
"Eh... Salam Kang, piye waras tah sampean... Kok tumben sore-sore datangnya." Kata Gus Dur sambil berdiri
"Alhamdulillah, Gus... Emm.. boleh gak ya mengucapkan selamat ulang tahun pada njenengan hari ini, hehehe...?" Saya sambil salaman dan mencium tangan beliau.
"Boleh-boleh saja, kenapa gak boleh, emangnya sampean sudah jadi fundamentalis tah?, hehehe..."
"Iya ya Gus, wah ini puasa-puasa suasananya khusyuk Gus, nggak kayak di Jakarta..." Kata saya sambil mencari posisi duduk di depan GD.
"Lagi sibuk Pemilukada kan?" Tanya beliau sambil senyum.
"Benar Gus, dan kalau njenengan di sana pasti kurang begitu suka dengan suasana kampanye yang memanipulasi SARA." Kata saya
"Lha memang yang satu itu lagi laku di masyarakat Indonesia yang cenderung kehilangan orientasi sebagai bangsa gara-gara kepemimpinan yang tidak mampu mengarahkan bangsa menghadapi dinamika yang cepat dan rumit akibat globalisasi."
"Tetapi kenapa isu SARA dipakai Gus? Apakah karena hal itu cepat membangkitkan sentimen dan dukungan terhadap calon-calon?" Tanya saya.
"Kan sampean juga tahu, bahwa isu SARA sejak masa kebangkitan nasional, masa kemerdekaan, dan paska kemerdekaan selalu mudah dieksploitasi. Khususnya kalau menyangkut agama Islam dan etnis Tionghoa, masih banyak yang bisa dikibuli dengan manipulasi ayat-ayat dan etnisitas. Bahkan sesama kalangan Islam saja kan masih belum tuntas benar keterpilahan atau cleavages di dalamnya. Apalagi dengan maraknya gagasan dan gerakan fundamentalisme Islam, baik yang radikal maupun yang non-radikal. Makin mudah ummat Islam, khususnya generasi muda, untuk ditarik memertentangkan ajaran agama dan paham kebangsaan, seolah-olah yang disebut terakhir itu keliru dan bahkan diametral berlawanan dengan yang pertama." GD menjelaskan panjang.
"Pada masa GD berkiprah dulu tampaknya sudah mulai terjadi pencairan dan dialog-dialog lintas agama, kan?" Kilah saya.
"Kalau dialog lintas-agama saya rasa kok malah lebih mudah, karena memang dirasakan oleh para pemimpin agama, khususnya non-Muslim, untuk melakukan pendekatan secara pro aktif. Justru problemnya pada internal kalangan Muslim sendiri. Pengerasan sikap dan klaim kebenaran, bahkan penggunaan kekerasan thd sesama ummat Islam pun ada gejala peningkatan. Lihat saja kasus kekerasan terhadap Ahmadiyyah dan Syi'ah, belum lagi gerakan anti tahlil dan ziarah kubur yang muncul lagi, padahal sudah reda sekjak tahun tujuhpuluhan..."
"Iya Gus, dan bagaimana njenengan melihat peran para Kyai NU dan PBNU sepeninggal njenengan?"
"Kalau di kalangan kyai kampung rasanya beliau-2 tetap istiqomah dengan bidang garapan mereka, walaupun tidak hingar bingar dan sangat lokal. Justru di elite NU dan PBNU yang repot karena paradigma pluralisme, demokrasi, dan HAM cenderung ditinggalkan. Malah ada tokoh NU yang ikut-2an marah kepada Ahmadiyyah dan sangat akrab dengan FPI. Kan aneh itu. Pemikiran mereka tidak lagi mampu menjangkau yang "beyond belief", dan cenderung politis dan pragmatis. NU lalu tidak memimpin dalam pendidikan demokrasi dan kebangsaan, tetapi sibuk ngurusi proyek."
"Wah yang terakhir itu apa tidak terlalu keras Gus?" Saya mencoba mendebat.
"Keras gak keras yo opo anane wae, Kang." (Keras tidak keras ya apa adanya saja) Jawab beliau santai.
"Lalu gimana Gus prospeknya kalau hubungan internal Islam seperti itu?" Saya bertanya.
"Kan sudah jelas, Islam di Indonesia tidak akan digubris lagi di tingkat dunia. Malah sekarang orang memuja-muja Ikhwanul Muslimin Mesir yang berhasil memimpin revolusi dan melakukan akomodasi-2 politis dengan pihak non-Muslim maupun militer. Malaysia yang jelas lebih konservatif Islamnya juga dipuji karena eksperimentasi ekonomi Islamnya dianggap sukses. Iran apalagi. Walaupun dibenci Barat, tetapi sangat populer di kalangan ummat Islam dunia karena keberanian melawan kekuatan adidaya dan kemempuan teknologinya. Indonesia makin kehilangan daya tawar kecuali jumlah ummat Islam yang besar saja..."
"Kan masih dianggap pemimpin dunia Islam di OKI , Gus?" Debat saya
"Lha OKI-nya sendiri saja gak punya gigi gitu kok Kang. Dari dulu ya dibawah pengaruh Arab Saudi dan tidak berani melawan kekuatan Barat khususnya pengaruh AS. Kemana OKI saat ada perang Lybia, Bahrain, dan Irak sebelumnya. Dan sekarang di Syria juga tidak ada gaungnya. Indonesia memang masih menjadi negara yang disegani tetapi saya kira hanya protokoler saja, hehehe..."
"Jadi untuk bangkit lagi gimana Islam Indonesia?"
"Ya tidak bisa lain kecuali menjadi komplementer dari keindonesiaan, tidak bisa berlagak menjadi yang dominan atau hegemonik. Islam dan keindonesiaan harus diperkuat dan caranya ya lewat landasan demokrasi, pengakuan pluralitas, meninggalkan kekerasan. Seperti yang kita perjuangkan dulu lah...Masih akan relevan kok. Islam di Indonesia itu, kalau dipisahkan dg kebangsaan dan keindonesiaan maka dua-2nya rugi: ummat Islam rugi, bangsa Indonesianya juga rugi..." Gus Dur menerangkan seolah menerawang masa masih aktif dulu.
"Wah, kok sudah mau berbuka Gus, saya pamit dulu ya?"
"Lho gak buka di sini saja, sekalian nanti taraweh dan sahur.."
"Tarawehnya duapuluh tiga ya Gus?" Tanya saya menggoda.
"Untuk sampean boleh didiskon 60%, jadi sebelas saja, hahahaha....." GD dan saya bareng-2 ngakak.
"Makasih Gus, saya mohon pamit saja. Ditunggu buka di rumah dengan keluarga."
"Salam buat mbakyu ya. Kemaren terakhir ke sini sampean bilang mau ujian disertasi, sudah beres kan?"
"Alhamdulillah berkat doa njenengan sudah selesai semua Gus, tinggal wisuda saja. Anak saya juga sudah selesai, dan saya akan menghadiri wisuda di AS tanggal 11 Agustus."
"Syukur kalau begitu, semoga meneruskan perjuangan kita nanti kalau sudah kembali.."
"Inggih Gus, nyuwun pamit, sekali lagi selamat ulang tahun Gus, Assalamu'alaikum..."
"Salaam...."
0 comments:
Post a Comment