Sunday, May 20, 2012
Home »
» QUO VADIS KEBANGSAAN INDONESIA?: RENUNGAN HARKITNAS 2012
QUO VADIS KEBANGSAAN INDONESIA?: RENUNGAN HARKITNAS 2012
Oleh: MUHAMMAD AS HIKAM
Presiden AS, Abraham (Abe) Lincoln, pernah mengingatkan kepada rakyatnya: "America will never be destroyed from the outside. If we falter and lose our freedoms, it will be because we destroyed ourselves." (Amerika tidak akan pernah bisa dihancurkan oleh musuh dari luar. Kalaupun Amerika jatuh dan kehilangan kemerdekaannya, hal itu karena kita sendiri yg menghancurkannya). Peringatan Presiden yang menjadi Pahlawan Nasional dan simbol penegakan Hak Asasi Manusiadi AS ini sangat relevan untuk menjadi renungan kita bangsa Indonesia. Kita hanya tinggal mengganti kata "Amerika" dengan kata "Indonesia" saja, dan itulah juga yang harus kita camkan. Bahwa negeri kita akan hancur bukan karena serangan luar, tetapi karena penghancuran dari dalam.
Salah satu target penghancuran dari dalam adalah semangat dan ikatan kebangsaan yang merupakan tali pengikat kemajemukan rakyat Indonesia yang sangat majemuk itu untuk menjadi sebuah bangsa, Bangsa Indonesia. Kebangsaan, jadinya, adalah satu-satunya landasan yang paling penting bagi tegaknya bangsa dan negara Indonesia. Jika kebangsaan lemah, maka lemah pula keduanya. Pada 1928, ketika Soempah Pemuda dikumandangkan, diditulah sejatinya sebuah fodasi ditanamkan, dan pada 1908 ketika Boedi Oetomo didirikan, benih-benih semangat kebangsaan disemai dan disebarkan serta diikuti oleh berbagai organisasi kepemudaan yang menjadi pelopor gerakan kebangsaan tsb. Maka tak heran pula, jika dalam perjalanan bangsa dan negara kita sampai sekarang dan aseterusnya, semangat kebangsaan inilah yang akan pertama-tama menjadi sasaran penghancuran dari mereka yang tidak menginginkan negara-bangsa ini abadi.Sejarah bangsa Indonesia selalu diwarnai oleh upaya-upaya rongrongan seperti itu, entah dalam bentuk konflik ideologi atau gerakan-gerakan politik separatis, atau yang lain. Berbagai pemerintahan sejak Kemerdekaan 1945 mencoba memertahankan visi dan cita-cita proklamasi dan senantiasa dihadapkan pula kepada rongrongan tersebut. Pada masa era reformasi saat ini tantangan terhadap kebangsaan pun sangat jelas dan bahkan sangat mengkhawatirkan, baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Tantangan dari luar berupa gelombang perubahan yang dihasilkan oleh globalisasi serta maraknya pengaruh ideologi trans-nasional. Sedangkan yang datang dari dalam -serta lebih berbahaya- adalh munculnya ideologi sektarian serta praktik-praktik pemaksaan oleh kelompok tertentu yang bertujuan menghancurkan kebhinnekaan serta sekaligus semangat dan fondasi kebangsaan.
Globalisasi sudah jelas membawa akibat-akibat positif dan negatif. Yang positif antara lain adlah terbukanya kesempatan pergaulan dan komunikasi yang semakin luas dengan seluruh bangsa di dunia. Pengembangan Iptek yang semakin maju karena pertukaran informasi yang semakin mudah. Demikian pula mobilitas yang semakin tinggi sehingga bangsa kita tidak terkungkung dalam keterasingan, dsb. Melalui globalisasi, bangsa dan negara Indonesia mampu menunjukkan dirinya sebagai salah satu bangsa dan negara yang besar dan mampu berperan positif bagi kemanusiaan, sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
Namun demikian, aspek negarif globalisasi pun harus dicermati. Antaralain semakin tingginya ketergantungan ekonomi nasional terhadap pasar global, merajalelanya Multinational Corporations (MNCs) sebagai pemegang keputusan dan pengatur ekonomi dunia, melebarnya jurang antara negara-2 maju (North) dengan negara-2 miskin (South), bahaya imperialisme budaya dari negara pusat (center) terhadap negara pinggiran (periphery), dan, last-but not te least, mudahnya ideologi-ideologi trans-nasional untuk masuk dan mempengaruhi bangsa kita. Perubahan-perubahan politik dan geopolitik global paska Perang Dingin menunjukkan bahwa negara-negara seperti Inodnesia semakin penting artinya tetapi juga semakin vulnerable keamanan nasionalnya karena dampak-dampak negatif globalisasi.
Ancaman dari dalam terhadap kebangsaan kita, hemat saya, justru semakin bertambah besar akhir-akhir ini. Pertama dengan maraknya ideologi tandingan terhadap Pancasila yang bermunculan kembali setelah terbukanya negeri ini sebagai hasil Reformasi, yang kemudian tidak terkontrol baik oleh negara maupun masyarakat sipil. Justru masyarakat sipil, melaui sebagian organisasinya, menjadi bagian dari pengembang biakan ideologi-ideologi tandingan terhadap Pancasila, dengan melakukan apropriasi terhadap identitas atau primordialisme (ras, suku, agama, golongan). Negara atau lebih tepatnya Pemerintah, yg terlalu sibuk dengan upaya pemulihan ekonomi dan kepentingan survival politik dari elitenya, tidak lagi terlalu hirau dengan masalah ideologi ini. Bahkan ada kecenderungan Pancasila tidak lagi menjadi bahan pelajaran pada sekolah, mulai jenjang terendah sampai tertinggi. Ini berakibat kepada semakin "terasingnya" ideologi Pancasila dan rasa kebangsaan dalam batang tubuh rakyat Indonesia sendiri.Kedua, maraknya ideologi trans-nasional yang kemudian berselingkuh dengan ideologi-2 tandingan tersebut. Misalnya munculnya kembali gagasan Negara Islam, pelaksanaan Syari'ah Islam dalam negara, pembentukan Negara Khilafah, dan juga bangkitnya gagasan lama tentang DI/TII.
Hal ini bukan saja hanya berlaku pada tataran ide, tetapi juga praksis yang kemudian muncul dalam bentuk ormas-ormas agama yang eksklusif, sektarian, dan bertentangan dengan semangat dan fondasi kebangsaan kita. Gerakan ini juga ada kalanya menjadi bagian dari ancaman riil bagi keamanan nasional, berupa aksi terorisme yang ternyata dilakukan dan di dalangi oleh ormas-ormas sempalan dan sektarian tersebut.Ketiga, ketidak acuhan atau mungkin kelemahan aparat negara dalam melakukan tugas sebagai pelindung negara dan rakyat telah mengakibatkan melemahnya semangat kebangsaan. Ketika sebagian rakyat Indonesia yang merasa hak-hak asasinya diganggu dan malah direpresi oleh sebagain kelompok, misalnya kaum Ahmadiyah, Syi'ah, sebagian penganut agama Kristen, dan kelompok-kelompok marginal, mereka berharap aparat negara bersikap tegas dan melindungi keamanan dan keselamatan mereka. Namun, yang terjadi malah semakin terlihat adanya kasus-2 pembiaran oleh alat negara tersebut sehingga berbagai kehancuran terjadi: kasus Cikeusik, gereja-gereja Temanggung, pembakaran ponpes Syi'ah di Sampang, penutupan gereja GKI Yasmin Bogor, dan masih banyak lagi. Praktik-praktik ini bukannya mengalami penurunan tetapi malah semakin sering terjadi dan berimplikasi kepada menurunnya solidaritas kebangsaan di antara rakyat Indonesia.
Keempat, selain maraknya ideologi tandingan maka masalah kesejahteraan yang semakin timpang juga merupakan sebab yang penting bagi turunnya semangat kebangsaan. Bagaimanapun juga, rasa senasib adalah salah satu elen vital dalam persemaian dan penegmbangan kebangsaan kita. Ketika perasaan senasib ini makin digerogoti oleh ketimpangan ekonomi dan sosial, maka rasa kebangsaan pun otomatis menjadi diperlemah. Ideologi-ideologi tandingan pun saling berlomba mengiklankan dan menawarkan solusi kepada kaum marginal dan lemah (mustadl'afin) dan tidak sedikit yang terpincut dan bahkan rela untuk menjadi bagian dari gerakan dan aksi-aksi yang akan dapat menghancurkan persatuan dan kebangsaan tersebut!
Jika berbagai persoalan yang mengancam semangat dan landasan kebangsaan tersebut tidak segera diatasi dan malah cenedrung dibiarkan, bisa saja Republik yang heterogen dan majemuk ini akan mengalami disintegrasi. Apalagi dalam konteks perubahan global yang sangat permissif terhadap segala bentuk aspirasi mencari jatidiri dan hak-hak menentukan nasib, maka akan semakin cepat proses itu berjalan. Kasusu-kasus separatis seperti Papua akan sulit dihentikan, dan malah akan dipakai oleh pihak luar untuk memperlemah kondisi keamanan nasional kita. Demikian pula jika Pemerintah yang diberi amanat oleh Negara untuk melindungi segenap warga negara dan tumpah darah ternyata hanya memikirkan kepentingan survival elite politiknya, bukan survival negara bangsa, maka pertanyaannya adalah mau kemana bangsa dan negara ini? Bisa jadi adalah sebuah proses Balkanisasi yg berlangsung dengan cepat maupun lambat. Dan peringatan Abe Lincoln kepada rakyat AS di awal tulisan ini menjadi kian relevan buat Indonesia....
"DIRGAHAYU HARI KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA (1908-2012)"
0 comments:
Post a Comment