(Suasana tempat Gus Dur tinggal
cukup sepi, ketika saya datang. Sayup-sayup terdengar musik Ummi Kulthum dari
ruang depan. Saya masuk ke dalam ruangan yang memancarkan sinar temaram
keemasan itu dan beliau sedang duduk santai sambil menyender. Tampaknya beliau
menikmati betul alunan penyanyi kondang dari Mesir itu, sampai kehadiran saya
pun tidak diketahui)
“Assalamu’alaikum, Gus..” pelan saya ucapkan salam kepada beliau.
“Salaamm.. eh, sampean Kang,
waras tah?” Jawab Gus Dur agak kaget. Saya bersalaman dan mencium tangan
beliau.
“ Wah angin apa yang
membawa sampean ke sini, Kang... Sudah lama tidak ada kabarnya..” Belum saya
jawab beliau sudah bertanya.
“Alhamdulillah Gus, saya
sehat-2 saja. Maaf Gus, memang sudah lama sekali tidak sowan, hampir dua tahun
kali ya..” Jawab saya.
“Sibuk ngurusi Universitasnya
ya.. Mbakyu gimana kabarnya, juga
anak sampean apa sudah lulus?” Gus
Dur bertanya panjang. Sangat tidak biasanya beliau bertanya banyak.
“Alhamdulillah Gus, memang
banyak urusan tapi bukan Universitas saja. Istri saya sehat-sehat, disertasinya
sudah selesai, nunggu ujian bulan Mei depan. Anak saya, Insya Allah, wisuda
bulan Agustus, Gus. Maturnuwun doa njenengan, mereka selesai tepat waktu...”
“Alhamdulillah.. Memangnya
kenapa kalau tidak tepat waktu?” Tanya beliau.
“Hehehe.. berat diongkos,
Gus...” Jawab saya sambil tertawa.
“Alaaah.. gitu aja dipikirin, kan Gusti Allah yang
memberi rejeki buat mereka..”
“Alhamdulillah Gus, ada
saja rejekinya sehingga sampai sekarang lancar..”
“Gimana kabar di Tanah
Air, Kang.. Saya mengikuti hanya sepenggal-sepenggal saja..” GD mengalihkan
pembicaraan.
“Banyak perkembangan Gus.
Salah satunya, akhir-akhir ini banyak para Ulama yg kapundhut.. Bisa repot ummat, Gus..” Saya melaporkan.
“ Hehehe... repot di
sampean, enak di saya.” GD memotong sambil tertawa.
“Kok bisa Gus?”
“Kan saya jadi makin
banyak teman. Kemarin Kyai Abdullah Abbas Langitan baru ke sini, besuk Gus Fawaid
Situbondo juga mau mampir... Kan enak saya bisa kumpul-kumpul lagi dg beliau-2.
Lha sampean yang repot, kan...hehehe..” Terang GD.
“ Iya juga sih. Cuma panjenengan kan tidak ngurusi ummat dan
bangsa lagi..”
“Lha kalau saya ikut ngurusi,
nanti kan pada lari ketakutan semua.... hahaha...”
“Hahaha.... Gus..gus, njenengan
bisa aja..!” Sayapun jadi ikutan tertawa. Ruangan pun menjadi sedikit rame.
“Tapi serius nih Gus, saya dan banyak orang pada khawatir dengan makin
berkurangnya para Ulama sepuh dan alim itu.”
“Gak usah khawatir Kang, Gusti Allah kan tidak kurang stok. Zamannya memang
beda, jadi ya jangan berharap akan seperti dulu. Yang penting akan tetap ada
ulama-ulama yg istiqomah dan bisa jadi panutan. Soal jumlah tidak penting, wong
sekarang teknologi sudah makin maju.” Gus Dur menasihati.
“Ada lagi, Gus, semenjak njenengan pergi, kekerasan atas nama agama makin
marak tampaknya. Kayaknya tidak ada yg disungkani oleh para pemimpin dan
tokoh-2 garis keras itu.” Kata saya mengadu.
“Sebenarnya bukan karena saya pergi saja, Kang. Tapi soal keberanian dan
ketegasan Pemerintah dan para pemimpin ummat beragama itu juga. Malah ini
problem yg lebih serius. Pemerintah atau aparat keamanan makin sering melakukan
pembiaran, sedang pemimpin ummat malah sibuk main politik...” GD menjelaskan.
“Tidak semua lho Gus..” Kata saya memotong.
“Ya tidak semua, tetapi kalau jumlahnya banyak kan repot. Pemerintah itu
kalau tidak mendapat dukungan pemimpin ummat kan tidak berani mengambil sikap.
Kalau pemimpin ummat sibuk dengan politik, mereka juga tidak bisa bersikap
netral. Sampean lihat nasibnya para jemaah Ahmadiyah itu...” Jelas GD.
“Benar Gus, makin sering terjadi kekerasan terhadap mereka. Ummat Islam
makin terpecah.”
“Lha bagaimana tidak, wong di NU
saja Ulamanya tidak padu. Yang dipakai ukuran oleh sebagian dari mereka hanya aspek
teologis saja, padahal urusan Ahmadiyah kan melibatkan aspek lain seperti HAM dan
Konstitusi di negeri kita..” Gus Dur mulai agak naik suaranya.
“Karena ulamanya hanya melihat dari satu dimensi, lupa pada dimensi lain,
maka pandangan mereka tidak utuh dan mudah dipecah oleh kepentingan politik.
Akhirnya di antara Ulama NU pun ada yg
kena pengaruh sektarian, seperti zaman dulu ketika saya mulai melakukan upaya
perubahan pemahaman tentang relasi agama dan negara..” Lanjut beliau.
“Jadi sekarang ini ada gejala kembali ke masa lalu, Gus?” Tanya saya.
“Ya bisa saja begitu, karena wacana tentang keindonesiaan, demokrasi, dan keislaman
tak berkembang dan bahkan makin surut. Jangan-jangan kini wacana keislaman dikuasai
kelompok-2 fundamentalis itu?. Ironis memang..” Terang Gus Dur.
“Tapi kan Pemerintah harusnya tanggap, Gus?”
“Harusnya, dan kalau pemimpinnya tegas serta tidak takut citranya luntur.
Pada analisa terakhir memang Negara atau Pemerintah yang wajib melindungi
jemaah Ahmadiyah sebagai warganegara RI. Itu tanggungjawab Konstitusional dan
tidak bisa dilarikan kepada siapapun. Kalau menurut saya sih, pembiaran
terhadap kekerasan atas nama agama itu masuk dalam kategori inkonstitusional..”
Pandangan GD seolah-olah menerawang jauh..
“Wah, kok sudah sampai ke sana Gus?” Tanya saya.
“Ya mau tidak mau kalau urusan terkait Negara dan warganegara, kan patokannya adalah Konstitusi. Bukan yang
lain. Makanya saya dari dulu menganggap aspek teologi saja tdk cukup untuk
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atas nama agama di negeri kita. Karena
karakter bangsa kita majemuk, bukan seperti Arab Saudi atau Iran. Di sini, Ahmadiyah, Syi’ah, Wahabi, Islam Wetu Telu,
Kebatinan Jawa, misalnya, semuanya memiliki klaim kebenaran dan teologi yang
saling tumpang tindih. Belum yang lain. Konstitusi yg harusnya juga dipakai
oleh para pemimpin ummat...”
“Apakah mereka masih belum paham Konstitusi, Gus?” Kembali saya memotong.
“Ya paham, tapi tidak banyak. Dan yang pahampun ada yang takut kalau dicap
liberal, sekuler, dan segala tetek bengek itu, Kang. Sampean tahu sendirilah..”
“Bener Gus, kalau njenengan lihat debat di The Gusdurians, saya sering dapat cap-cap itu, hehehe..”
“Nah, kan.. Tapi sampean lanjutkan saja, Kang, gak usah terlalu dipikir
apa kata orang.”
“Iya Gus.. Ngomong-2 ini sudah larut malam Gus. Saya pamit dulu ya?.. Oh ya
Gus, kebetulan saya ultah hari ini..hehehe...” Kata saya sambil bangkit
berdiri dan lalu bersalaman.
“Selamat Kang. Saya doakan usia sampean
panjang, jangan keburu bergabung dengan saya. Sampean belum punya mantu apalagi cucu...Jadi belum sempurna,
hehehe....”
“Hehehe... Benar Gus, mohon pamit, saya nanti akan lebih sering sowan Gus..
Banyak yg mau saya tanyakan. Assalamu:alaikum Gus.”
“Salam saya buat mBakyu dan putrinya ya...”
0 comments:
Post a Comment