Pidato Wapres Boediono yg mengomentari azan dengan pengeras suara menuai kontroversi. Adfa yang setuju dan ada yg tidak. Dan seperti sering terjadi, komentar mereka yg tidak setuju sering "mblakrak" ke luar konteks. Apalagi kalau yg mengomentari terlalu bersemangat atau overzealous, dan lupa dengan konteksnya. Bagi saya, sentilan Pak Boediono bukan saja sangat tepat, tetapi juga sangat halus. Beliau menghimbau dengan kalimat-2 yg khas Jawa: tidak langsung, tetapi mengena. Coba simak kutipan pidato beliau yg terkait dengan soal Azan ini:
"Kita semua sangat memahami bahwa adzan adalah panggilan suci bagi
umat Islam untuk melaksanakan kewajiban sholatnya. Namun demikian,apa
yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain, yaitu bahwa
suara adzan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk
ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan
terlalu dekat ke telinga kita..."
Jika kita menyimak dg kepala dingin dan nurani yg jernih, niscaya apa yg disampaikan beliau adalah sebuah himbauan agar azan di Masjid ditempatkan dalam konteks yg tepat, antara lain dengan memerhatikan lingkungan sekitar dan waktu. Azan yg dilantunkan pada siang hari dan dini hari memiliki konteks yg berbeda kendati tujuan dan maksud yg sama. Dalam ilmu komunikasi, memahami dengan baik konteks tempat dan waktu sangat membantu pencapaian tujuan dan efektifitas penyampaian pesan. Bukankah azan juga merupakan sebuah penyampaian pesan, yakni mengingatkan dan memanggil ummat Islam akan saat waktu shalat telah masuk dan segera melaksanakannya? Selain itu azan juga memiliki aspek komunikasi sosial, sebagai penanda (sign) dan simbol (symbol) syi'ar Islam yang rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi semua) itu. Jika azan kemudian terdistorsi maknanya karena disebabkan penyampaian yg tidak tepat konteks, maka kita sebagai ummat juga yg salah.
Dengan demikian, himbauan Pak Boed adalah sebuah upaya agar ummat Islam mau dan mampu memahami realitas dan lingkungan ketika hendak menyampaikan pesan dan membangun syi'ar. Dalam sebuah komunitas yg kompleks dan multikultural, ummat dan para pemimpinnya mestinya harus kreatif dan innovatif sehingga pesan atau panggilan suci melalui azan bukan hanya menjadi rutinitas tanpa makna, tetapi sebuah habit (kebiasaan) yg bermakna setiap saat dikumandangkan. Azan tidak menjadi semacam kebisingan yg mengganggu dan menanamkan sikap apriori serta stereotipe negatif bagi ummat. Saya yakin bahwa dengan kearifan, kreatifitas, dan innovasi yang dimiliki ummat Islam di negeri ini, himbauan Pak Boed akan menemukan realisasinya, tanpa sedikitpun mengurangi kegiatan azan itu sendiri.
Kritik Pak Boed tentang kebiasaan azan keras-keras itu belum apa-apanya kalau dibanding dengan krtitik yg sama dari Presiden RI ke 4, Gus Dur (Allah yarham). Walaupun melalui humor, tetapi kritik GD lebih menukik dan tajam karena menyentuh pada masalah hakikat. Dan beliau sering mengulang humor ini dalam kegiatan tabligh ceramah, seminar dll. Beliau bercerita, ada tiga pemimpin agama: Pendeta Kristen, Pedanda Hindu Bali, dan Kyai. Mereka sedang ngobrol dan menyinggung masalah relasi manusia dg Tuhan. Pendeta Kristen mengatakan: "Agama kami sangat dekat dengan Tuhan, buktinya memangilNya dengan Bapa..." Pedanda Hindu-Bali mengatakan: "Agama Hindu juga sangat dekat, kami memanggilnya dengan Om (swasti astu)...". Sang Kyai diam saja tdk segera menimpali. Setelah didesak oleh kedua pemimpin agama lainnya, baru sang Kyai bilang "Wah.. kalau Islam ini gimana ya hubungan dengan Tuhan, wong memanggil namaNya saja harus pakai pengeras suara dan keras-keras lagi, misalnya azan itu.."
Gus Dur (Allah yarham) jelas bukan sedang melecehkan agamanya sendiri atau dalam hal ini azan. Beliau sama dengan Pak Boed menyampaikan himbauan agar dalam melakukan panggilan suci tsb tidak menampilkan sikap overzealous, apalagi menciptakan respon negatif dari pihak lain atau sesama Muslim. Bukankah Tuhan selalu dekat dengan kita dan soal panggilan azan bisa dilakukan secara lebih teduh dan menyentuh sanubari? Bedanya kalau Pak Boed dengan mamakai himbauan ala Jawa, sedang Gus Dur dengan humor "self mockery" (menertawai diri sendiri).
Terpulang kepada kedewassan para pemimpin Islam dan ummat dalam menyikapi kedua kritik dan himbauan tsb. Bagi mereka yg overzealous dan selalu bercuriga, tentu kritik tsb akan ditanggapi negatif dan diplintir seolah anti ini dan itu. Bagi mereka yg siap dengan kritik, hal tersebut merupakan ajakan untuk lebih kreatif dan innovatif serta kontekstual dalam menyampaikan pesan atau panggilan suci seperti azan. Dan ummat Islam di Indonesia sudah membuktikan bhw mereka sangat kreatif dan innovatif dalam membumikan pesan suci Islam dalam masyarakat dan bangsa tanpa sedikitpun menyalahi apalagi mengorbankan inti pesan ajaran agama mereka.
0 comments:
Post a Comment