Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Editorial koran Media Indonesia sangat menarik untuk kita cermati. Seorang teman fb memberitahu saya melalui kotak pesan agar memberikan respon dan diposting dalam bentuk catatan. Semula saya rada enggan karena biasanya catatan saya tidak untuk mereaksi kolom editorial dari media apapun. Namun kali ini saya tertarik untuk merespon editorial tersebut karena saya pikir cukup relevan untuk menyambut Tahun Baru Hijriah 1432, yang jatuh pada esok tgl 7 Desember 2010. Saya selalu memaknai Tahun Baru Hijriah sebagi sebuah "signpost" atau penanda perpindahan dari suatu situasi dan kondisi yang gelap dan bodoh (jahiliyah) menuju situasi dan kondisi tercerahkan dan terang benderang; dari suatu yang buruk menjadi baik. Pemberantasan korupsi adalah salah satu dari signpost itu: penanda keinginan untuk hidup yang bersih dan legitimate, baik secara hukum maupun etis.
Saya tertarik untuk merespon editorial yang menggugat sistem rekrutmen Kepala Daerah di negeri ini yang menurut penulisnya lebih banyak menghasilkan sang terpidana ketimbang pemimpin daerah yang berhasil membangun. Hal ini dikarenakan sistem rekruitmen calon Kepala Daerah yang sedemikian rupa oleh partai-partai politik, sehingga politik uang menjadi penentu bagi kemenangan calon, bukan kualitas dan kapasitasnya. Pada gilirannya, karena calon kepala daerah harus menyediakan ratusan miliar untuk Pemilukada, padahal gaji mereka secara resmi di bawah sepuluh juta/bulan, maka tak dapat tidak akan membuka peluang untuk melakukan korupsi kepada para Kepala Daerah tadi untuk dapat mengembalikan "modal" mereka ketika mencalonkan diri.
Implikasinya adalah: 1) pemilukada bukan menjadi sebuah alat demokrasi, dan 2) kegagalan sistem politik karena penyelewengan yang dilakukan parpol. Dalam hal ini, "partai...dengan sadar dan sengaja membunuh kadernya sendiri, dengan cara membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang dari luar partai yang ingin berkuasa dengan syarat mereka menyediakan dana. Partai malah sangat kreatif mencari orang-orang berduit untuk dipasang sebagai calon kepala daerah." Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi sangat tidak mengherankan manakala Kementerian Dalam Negeri mencatat bahwa sampai bulan Oktober 2010 sekitar "seratus limapuluh (150) wali kota dan bupati menjadi tersangka korupsi."
Kondisi seperti ini, menurut editor Media Inondesia, harus diubah melalui dua cara: 1) kepala daerah cukup dipilih DPRD, dan; 2) partai politik... mengusung kader-kader terbaiknya untuk bertarung menduduki tampuk pimpinan daerah. Berarti bahwa "partai harus mampu mengembangkan modal sosial sehingga anggota dan simpatisannya percaya kepada sang kader dan memilihnya dengan ketulusan hati."
Saya tidak masalah jika pemilihan Kepala Daerah harus ditinjau kembali, dari pemilukada langsung menjadi tak langsung seperti sebelumnya. Namun demikian, sebagaimana yang juga terjadi pada model seperti itu, yang namanya politik uang juga sangat mudah terjadi, hanya dalam hal ini yang menikmati adalah para anggota Dewan yang memilihnya, bukannya para pemilih dan tokoh-tokoh politik, dsb. Bagaimana membuat pemilihan tak langsung itu bersih, itulah sebetulnya persoalan yang selalu muncul jika mekanisme tersebut dipakai kembali.
Tentang alternatif kedua, saya sangat tidak sepakat karena hal itu masih normatif dan secara logika, termasuk tautologis. Bagaimana mungkin parpol akan mampu mengusung kader terbaiknya, jika sistem kepartaian yang berlaku tetap saja menghasilkan organisasi partai yang mirip dengan perusahaan keluarga dan Yayasan? Seluruh parpol di negeri ini mengidap kesalahan sistem yang sama sehingga penyakitnya juga sama: menjadi persemaian para otokrat dan para politisi yang tidak memiliki kemampuan dan keahlian yang mumpuni dan telah dites dengan jam terbang yang tinggi. Mengapa? Karena parpol yang menjadi wadahnya tidak berfungsi sebagai kawah candradimuka bagi penggemblengan para calon negarawan, tetapi hanya sekedar politisi karbitan. Apalagi jika si kader itu kebetulan adalah keluarga para pemimpin parpol, maka dengan sangat cepat si anak/mantu/keponakan/ ipar/ dll akan melesat sebagai "tokoh" dan "kader utama" yang akan menjadi pengganti.
Akibatnya, parpol menjadi pembenihan calon-calon pemimpin karbitan: kalau bukan karena keturunan, ya karena punya kelebihan dana. Soal kemampuan dan pengalaman menjadi tidak relevan, dan si kader yang sudah merasa hebat (karena putra mahkota atau karena membayar banyak) tidk merasa ada perlunya punya kuntabilitas kepada partai, anggota partai, apalagi publik dan bangsa. Maka parpol di republik ini tak lebih hanya merupakan penampungan para Mafia dan para politisi kurang bermutu. Rakyat juga cenderung akan meremehkan politisi demikian dan tidak merasa perlu menghormati politisi. Jeleknya adalah, kalaupun ada politisi serius dan bermutu maka mereka ini mendapatkan diri serba salah: di partai mendapat musuh dari para politisi busuk dan bodoh, di luar partai dicuekin karena hanya dianggap sama saja dengan yang bodoh dan busuk!
Karena itu, solusi yang kedua itu masih kurang fundamental. Ia harus diawali dengan reformasi sistem kepartaian dan reformasi sistem Pemilu yang mampu benar-benar menciptakan perubahan gradual dan sistematis menuju demokratisasi yang benar dan mampu bekerja untuk kepentingan rakyat. UU Kepartaian harus diubah sehingga parpol bisa diawasi publik dan lembaga peradilan. Sistem Pemilu juga harus makin transparan dan dijalankan oleh KPU yang profesional dan independen, bukan KPU yang menjadi alat transaksi politik seperti yang ada saat ini. Upaya memasukkan orang parpol ke dalam KPU adalah resep paling manjur untuk menghancurkan sistem Pemilu demokratis.
Jika reformasi sistem kepartaian dan sistem pemilu tidak dilaksanakan, maka korupsi berbasis partai tidak akan bisa diperkecil, alih-alih dihilangkan. Parpol sebagai lembaga yang akan menjadi pemilik kekuasaan, jelas akan semakin memperkuat diri dengna segala macam sumberdaya, termasuk dan terutama. Ini hanya akan bisa dilakukan dengan semakin membuat sistem yang korup dan rekruitmen yang tidak berdasarkan meritokrasi, tetapi transaksional.
Reformasi akan hancur karena parpol yang memang hampir tak tersentuh selama satu dasawarsa setelah gerakan menumbangkan Orba. Para penumpang gelap, politisi busuk, politisi karbitan dsb telah bersemai dan berkuasa. Korupsi hanyalah puncak sebuah guning es. Yang tidak kelihatan adalah sebuah magma kebejatan yang maha panas dan setiap saat bisa meletup dan menhancur leburkan negara dan bangsa Indonesia.
Selamat Tahun Baru Hijriah 1432.
Monday, December 6, 2010
Home »
» KORUPSI BERBASIS PARTAI: CATATAN MENYAMBUT TAHUN BARU 1432 HIJRIYAH
0 comments:
Post a Comment