Oleh Muhammad AS Hikam
Alllahu Akbar x 9
Walillahil Hamdu
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa; Yang menciptakan alam semesta dan seluruh mahluq dari tiada; Yang memelihara dan menjaganya sesuai dengan kehendakNya; Yang Maha Tahu tentang segala perkara, termasuk waktu kapan berakhirnya.
Shalawat dan salam mari kita curahkan kepada Rasulullah Muhammad saw, junjungan kita dan utusanNya. Juga kepada seluruh keluarganya, para shahabatnya, para Tabi’in dan tabi’it tabi’in yang mulia, dan para auliya’, serta para ulama. Demikian pula mereka yang mengikuti jalan yang dilalui beliau-beliau semua hingga hari Qiyamat tiba.
Selanjutnya, terpujilah nama Allah swt yang telah memberikan rahmat kepada kita berupa nikmat kesehatan, kemampuan dan kemauan utk menjalankan ibadah Sholat Iedul Adha. Seraya tak putus-putusnya kita meneguhkan janji kepada diri sendiri bahwa kita akan selalu menjaga dan meningkatkan amal shaleh sebagai implementasi ketaqwaan kepadaNya. Amin ya rabbal ‘alamin..
Allahu Akbar x3
Alhamdulillah, hari ini 10 Dzul-Hijjah 1431 H bertepatan dengan Selasa 17 November 2010, kita dapat melaksanakan ibadah sholat Iedul Adha yang, Insya Allah, nanti dilanjutkan dengan qurban yang merupakan rangkaian tak terpisahkan. Di samping itu, khusus bagi kaum Muslimin di seluruh Nusantara Hari Raya Iedul Adha tahun ini memiliki makna khusus yang tertanam di kalbu kita karena terkait erat dengan keberadaan kita sebagai bangsa. Bulan ini kita sebagai bangsa memperingati jasa-jasa para Pahlawan dan Syuhada yang telah merelakan diri berkorban untuk merebut kemerdekaan dan mengisinya, demi keridlaan Allah swt dan pemenuhan hak asasi manusia. Karenanya, kita sudah sepantasnya menyelami hikmah dari kedua peristiwa yang terbuhul dalam sebuah kata “pengurbanan”. Insya Allah kaum Muslimin di seluruh Indonesia akan semakin bersemangat untuk terus membangkitkan kesadaran terhadap nilai kebersamaan dan persaudaraan (ukhuwwah basyariyah, ukhuwah Islamiyah, dan ukhuwah wathoniyah) yang, pada gilirannya, akan menjadi pendorong dan penyemangan mencapai tujuan sebagai sebuah komunitas, masyarakat, ummat, dan bangsa.
Namun demikian kita juga harus prihatin dan merenung bahwa pada saat kita merayakan Iedul Adha hari ini, sebagian anak bangsa kita juga sedang mengalami musibah dan cobaan dari Allah ‘azza wa jalla, berupa bencana alam yang membawa tidak sedikit kurban, baik jiwa manusia maupun harta benda. Peristiwa-peristiwa bencana alam Tsunami di Pulau Mentawai (Sumatera), banjir bandang di Wasior (Papua), dan awan panas akibat letupan Gunung Merapu Jogjakarta (Jawa), serta di daerah lain di tanah air, sunggguh merupakan peristiwa yang memilukan dan sekaligus bukti betapa ringkih dan lemahnya kita sebagai mahluq.
Musibah ini tentu saja juga bernuansa “pengurbanan” yang di dalamnya terkandung berbagai makna. Salah satunya adalah bahwa musibah adalah bagian dari kekuasaan Allah yang di dalam Al-Qur’an Surat Al-Hadid (57) dinyatakan:
“Setiap bencana yang terjadi di muka bumi dan menimpa dirimu
sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz)
sebelum Kami (Allah) mewujudkannya. Hal itu sesungguhnya adalah
perkara yang mudah bagi Allah. (Hikmahnya adalah) agar kamu
tidak terlampau bersedih terhadap apa tidak kamu dapat dan tidak
pula kamu eforia terhadap apa yang diberikanNya kepadamu.
Karena Allah tidak menyukai orang yang sombong dan
membanggakan diri.” (22-23)
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Dalam situasi demikian kita sebagai umat Islam seluruh dunia memperingati sebuah peristiwa besar yang menjadi salah satu tonggak sejarah manusia, yakni ketika Nabiyullah Ibrahim as, mendapatkan perintah dari Allah untuk melaksanakan suatu hal yang secara naluri dan rasio manusia biasa pasti berada di luar kemampuannya. Melalui wahyu berupa impian, beliau diharuskan mengurbankan anak tersayangnya, Nabiyullah Ismail as, yang pada waktu itu baru saja menginjak dewasa (akil baligh), dengan cara menyembelihnya sendiri layaknya hewan korban. Perintah seperti itu sudah pasti tak tertandingi kedahsyatannya bagi manusia, bahkan untuk tataran seorang Nabi pun. Tetapi Nabi Ibrahim dan Ismail as tanpa keraguan setitikpun telah menjalankan perintah itu. Dan karena kepatuhan inilah maka Ibrahim as dan keturunan beliau (khususnya Rasulullah saw) kemudian menjadi pemimpin dan suri tauladan bagi seluruh manusia di dunia sampai akhir zaman.
Allahu Akbar x3
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Ujian kepada Nabi Ibrahim as adalah salah satu cara Allah swt untuk menunjukkan bahwa manusia sesungguhnya memiliki keunggulan dibanding mahluq ciptaan Allah swt lainnya. Keunggulan tersebut berupa kemampuan manusia untuk patuh kepada Sang Pencipta, untuk bersabar sampai kepada titik yang paling tinggi, dan untuk memiliki keimanan yang teguh dan tak tertundukkan. Maka ketika Nabi Ibrahim telah lulus dari cobaan tersebut, layaklah apabila kemudian Allah memberikan penilaian khusus atas beliau, sebagaimana FirmanNya dalam Surat An-Nahl (16):
“Sesungguhnya Ibrahim adalah sosok pribadi yang dapat dijadikan
teladan bagi kepatuhan terhadap Allah, swt. Dan dia bukanlah
termasuk orang-orang yang musyrik. Dialah orang yang mampu
mensyukuri nikmat-nikmat Allah, dan (karena itu) Allah telah
memilihnya dan menunjukkannya kepada jalan yang lurus. Di dunia
Allah memberikan kepadanya kebaikan, sedangkan di akhirat nanti
dia termasuk orang-orang yang shaleh.” (120-122)
Maka tak mengherankan pula, apabila Allah swt menyebut Nabi Ibrahim as dan mereka yang mampu menerima cobaan dari Allah sebagai suatu suri tauladan bagi manusia. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah (60) Allah swt berfirman:
“Sesungguhnya terdapat suri tauladan yang baik bagimu dari
Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya.”
Allahu Akbar x3, Walillahil Hamdu
Apakah mau’idzoh dan hikmah yang bisa kita petik dari Hari Raya Iedul Adha, khususnya dari kisah Nabi Ibrahim as, bagi kita ummat Islam di Indonesia yang pada saat yang sama menghadapi musibah, dan sedang memperingati jasa-jasa para Pahlawannya? .
Pertama, dari peristiwa Nabi Ibrahim as ketika beliau mendapat perintah mengurbankan anak kesayangannya, Ismail as, makna pelajaran terpenting adalah bahwa dalam penghambaan kita kepada Allah swt, kita dituntut untuk patuh, taat dan ihlas secara total. Seberat apapun perintah Allah dan RasulNya harus kita laksanakan tanpa kompromi, tawar menawar, atau membuat dalih untuk menolak dan menghindarinya. Inti dari At-Tauhid: keyakinan yang mendalam bahwa semua perintah Allah swt adalah yang terbaik bagi manusia, bahwa janji Allah pasti akan diwujudkanNya, dan bahwa Allah tidak akan menelantarkan hambaNya yang telah menjalani cobaan atau ujian yang diberikanNya.
Kita simak dialog antara Nabi Ibrahim dan putranya Ismail AS sebagaimana yang disebutkan dalam Al Qur”an Surat As-Shaffat (37):
“Dan ketika Ismail sampai pada umurnya, Ibrahim berkata ‘Wahai
anakku sesungguhnya aku bermimpi telah menyembelihmu. Maka
pikirkanlah apa pendapatmu.’ Ismail menjawab ‘Wahai ayahku,
lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah,
engkau akan mengetahui bahwa aku termasuk orang yang taat dan
patuh (kepada perintah Allah).” (102-103)
Dialog tersebut adalah sebuah petunjuk yang sangat terang benderang tentang sebuah ketaatan dan kepatuhan tanpa reserve yang dimiliki oleh kedua nabiyullah tersebut terhadap Allah. Tidak ada keraguan sedikitpun dari sang putera bahwa perintah Allah melalui wahyu berbentuk impian kepada sang ayah adalah kebenaran dan sekaligus ujian yang harus dilaksanakan. Pelajaran yang kita dapat adalah bahwa keimanan bukan saja berupa kepercayaan dan ketaatan total, tetapi juga keberanian menanggung resiko apapun demi membuktikan dan mempertahankannya.
Memang, dalam peristiwa tersebut akhirnya Allah swt mengganti Ismail AS dengan seekor domba yang kemudian disembelih sebagai qurban (“Wa fadainaahu bidzibhin ‘adziim”, kata Allah dalam Al-Qur’an). Namun demikian seringkali pengorbanan harus dilakukan dan hal-hal yang tidak mengenakkan akan terjadi kepada kita sebagai bagian dari keberimanan dan kepatuhan menerima perintah dari Allah swt. Tanpa ada kepatuhan dan ketaatan total seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim dan Ismail as maka sulit kita membuktikan secara konkret bahwa kita memang benar-benar telah beriman.
Allahu Akbar x3
Kedua, kita dapat mengambil hikmah betapa pentingnya sikap istiqomah atau konsisten dalam menegakkan kebenaran dalam kondisi apapun. Sikap konsisten memang mudah diucapkan, tetapi hal yang paling sulit dilaksanakan. Karena itulah kini kita lihat betapa konsistensi semakin tergerus erosi, khususnya di kalangan pemimpin (imam) di masyarakat, termasuk ummat Islam sendiri. Banyak contoh yang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kegagalan melaksanakan “satunya kata dan perbuatan” yang sering diteriakkan oleh pemimpin kita. Contoh paling gres adalah kasus-kasus korupsi yang justru dilakukan oleh mereka yang sejatinya ditugasi dan dibayar untuk mencegah kerusakan akibat perbuatan tersebut. Yang terjadi adalah justru ibarat “pagar makan tanaman”. Alih-alih menjaga agar tahanan tidak kabur atau keluar dari Rutan seenaknya, justru dengan bayaran tertentu bukan saja tahanan itu bisa keluar dari Rutan tetapi juga bisa pelesiran layaknya wisatawan yang bebas.
Akibat maraknya inkonsistensi demikian adalah hancurnya sistem hukum kita yang telah kita buat dan percaya akan bisa melindungi kita dari kerusakan. Maka sudah saatnya kita mencontoh Ibrahim As dalam memegang konsistensi memperjuangkan kebenaran, kendati harus berhadapan dengan sang ayahnya sekalipun. Dalam Al-Qur’an Surat Maryam (19) dipaparkan dialog antara Nabi Ibrahim as dengan ayahnya, Azar, terkait penyembahan berhala:
“Dan ceritakanlah kisah Ibrahim di dalam Kitab, karena
sesungguhnya ia adalah orang yang sngat mencintai kebenaran dan
seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya ‘Wahai
ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak
mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun?.
Wahai ayahku, sungguh telah sampai kepadaku sebagian ilmu yang
tidak diberikan kepadamu, maka ikutilah aku. Niscaya aku akan
menunjukkanmu ke jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah
engkau menyembah Syaitan, karena ia telah durhaka kepada Tuhan
Yang Maha Rahman. Wahai ayahku, aku sungguh khawatir engkau
akan ditmpa adzab dari Allah Yang Maha Rahman, sehingga engkau
menjadi sahabat Syaitan.’
Ayah Ibrahim berkata ‘Apakah engkau benci kepada berhala-
berhalaku Ibrahim? Jika kamu terus teruskan pasti engkau akan
kusiksa (rajam). Enyahlah engkau dari depanku selamanya.’
Ibrahim menjawab, ‘Semoga keselamatan diberikan kepadamu,
ayahku, dan aku akan memohonkan ampounan kepada Tuhanku
untukmu. Sesungguhnya Ia adalah dzat yang sangat baik kepadaku.
Dan aku pun akan meninggalkanmu dan meninggalkan apa yang
engkau sembah selain Allah. Dan aku akan tetap berdoa kepada
Tuhanku, dan mudah-mudahan aku takkan kecewa dengan berdoa
kepada Tuhan.” (41-48)
Allahu Akbar x3, Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Hikmah yang ketiga dari Iedul Qurban adalah pentingnya sikap amanah dan kemauan berkorban dari seorang pemimpin dan mereka yang ingin menjadi pemimpin. Ibrahim as adalah sosok pemimpin yang amanah dan berani melakukan perubahan fundamental dengan resiko yang sangat besar. Beliau misalnya berani berhadapan dengan para penguasa dan elite masyarakat, termasuk elite agama, ketika harus mempertanggungjawabkan perbuatan beliau memotong kepala-kepala berhala sesembahan mereka. Resikonya tak tanggung-tanggung: beliau dijatuhi hukuman dibakar hidup-hidup. Dalam rangka menyebarkan agama Allah, beliau harus melakukan perjalanan jauh meninggalkan negerinya (bersama isterinya, Hajar) menuju sebuah daerah yang sangat tandus dan kering yang dikenal dengan Tanah Hijaz. Setelah sampai dan punya anak lelaki, beliau diperintahkan Allah melakukan pengurbanan anak yang dikasihinya sebagai ujian ketaatan kepadaNya.
Jika kita refleksikan dengan kondisi kita saat ini, sangat jauh rasanya dan barangkali nyaris tak mungkin terjadi. Karena yang kini banyak kita lihat justru adalah para “pemimpin” atau “tokoh” atau “panutan” yang mudah sekali berbalik dan berkompromi karena mendahulukan kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau kelompoknya. Kalau perlu dengan mengorbankan yang lain, termasuk mengurbankan kepentingan bangsa dan rakyatnya sendiri.
Hasilnya adalah, berbagai perilaku arogan dipertunjukkan setiap hari melalui ucapan, tindakan, dan kebijakan yang dibuat oleh para “pemimpin” tersebut. Alih-alih mereka mau mewakafkan diri bagi kepentingan rakyat, justru yang paling sering kita dapati adalah perlombaan memanfaatkan rakyat yang masih belum memiliki pengetahuan yang cukup atau kemampuan ekonomi yang mandiri. Melalui segala macam rekayasa, para “pemimpin” tersebut memanipulasi rakyatnya dengan mengatas-namakan kepentingan mereka, padahal pada kenyataanya kepentingan pribadi, kelurga dan kelompoknyalah yang di nomor satukan.
Nabi Ibrahim as adalah tauladan bagi sosok pemimpin tanpa pamrih. Tak heran jika Allah swt pun menjanjikan kepada beliau dan keturunannya akan menjadi pemimpin ummat manusia. Salah satunya adalah Rasulullah saw pemimpin terbesar sampai akhir zaman. Firman Allah swt dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah (1):
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan berbagai
perintah dan larangan, dan kemudian ia menjalankannya dengan
sempurna, maka Allah berfirman, ‘Sesungguhnya aku akan
menjadikanmu pemimpin bagi seluruh manusia.’ Ibrahim pun
berkata, ‘Hambapun meminta (kedudukan yang sama) untuk para
keturunanku.’ Allah berfirman, ‘Janjiku ini tidak mencakup mereka
(keturunanmu) yang dzalim.” (124)
Allahu Akbar x3, walillahil hamd,
Akhirnya, hikmah yang keempat adalah solidaritas dan kebersamaan antar-sesama manusia, terlepas dari latar belakangnya. Iedul Adha disebut dengan Hari Raya Haji karena memang itulah intinya. Ibadah yang satu ini menampilkan sebuah perwujudan gagasan kebersamaan, solidaritas, dan kesetaraan derajat antar-ummat manusia. Jutaan para tamu Allah berwukuf di Arafah kemarin bersama-sama melantunkan puji-pujian dan kalimat tauhid : “Labbaikallahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innal hamda wan ni’mata laka wal mulka, la syarika laka.” (Kami penuhi panggilanMu ya Allah, Kami penuhi panggilanMu ya Allah, Tiada sekutu bagiMu, kami penuhi panggilanMu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan hanyalah milikMu, tiada sekutu bagiMu).
Manasik Haji menggambarkan keberadaan manusia yang tanpa daya dan kuasa di hadapan Allah. Simbolisasinya adalah ketika para Hujjaj menanggalkan seluruh atribut kebesaran dan kemewahan duniawi. Mereka hanya mengenakan dua lembar kain Ihram, yang juga mengingatkan kita kepada kain Kafan, sebagai peringatan agar manusia selalu siap untuk menghadap kepadaNya.
Sementara itu, penyembelihan ternak Qurban adalah simbol dan sekaligus wujud solidaritas kita dan kepedulian kita kepada sesama manusia. Kita sebagai ummat Islam harus berada di barisan paling depan dalam hal kepedulian dan pengurbanan bagi sesama, khususnya terhadap mereka yang terpinggirkan dan yang sedang mengalami musibah. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj (60) dinyatakan:
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari Syi’ar agama
Allah yang dapat engkau ambil kebaikannya. Maka sebutlah nama
Allah (ketika engkau akan menyembelihnya). Dan setelah rebah,
maka makanlah sebagian dari dagingnya dan berikanlah sebagian
lagi untuk mereka, baik yang merasa sudah cukup maupun yang
meminta. Demikianlah Allah tundukkan unta-unta itu agar kamu
bersyukur. Dan daging hewan-hewan qurban itu sekali-kali tidak
akan sampai kepada Allah, namun yang sampai adalah ketakwaan
kamu sekalian. Demikianlah Dia menundukkan (hewan-hewan itu)
untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia
berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada
mereka yang beramal shaleh.” (36-37)
Dari paparan di atas maka jelaslah bahwa Hari Raya Iedul Adha yang juga disebut Iedul Qurban dan Hari Raya Haji memiliki hikmah mulai dari yang sangat abstrak berupa hubungan antar Allah dengan manusia, sampai yang paling konkret yaitu solidaritas antar sesama manusia. Semoga kita semua yang menjalankan Sholat Ied pada pagi hari ini mendapatkan Rakmat dan KaruniaNya serta dapat meneladani pribadi Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan terlebih Nabi Muhammad saw. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
(Khutbah Iedul Adha di Masjid "Daarul Adzkar", Cinere, Karang Tengah, Jaksel, 10 November 2010)
0 comments:
Post a Comment