Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Agak tak biasanya saya berkunjung dan Gus Dur sedang sare (tidur) sambil dalam posisi sedang berdzikir. Mula-mula saya kira karena saking khusyu'nya, tetapi setelah saya mendekat ternyata memang sedang sare. Mungkin karena beliau merasa ada sesuatu di sekitarnya, maka kemudian bangun dengan sedikit njenggirat (terhenyak). Karenanya, saya buru-buru mendekat dan uluk salam.
"Assalamu'alaikum Gus.." Kata saya sambil menyalami dan mencium tangan beliau
"Salam.. Kang, eh.. piye waras tah? wah ngantuk saya...hehehe..." Kata beliau sambil tertawa renyah
"Kebanyakan wiridan apa Gus?"
"Ah enggak, cuma habis ada beberapa tamu tadi, ngobrol sebelum dzuhur... Gimana kabarnya?" Tanya beliau sambil membenahi duduknya.
"Alhamdulillah Gus, dan selamat dulu dong ya.." kata saya
"Selamat opo maneh?" Jawab GD
"Kan sudah resmi panjenengan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI, Gus.. Kita bahagia dan gembira banget!"
"Alaah, wis ta lah, gitu aja repot. Ya Alhamdulillah dan terimakasih kepada Presiden SBY dan seluruh rakyat Indonesia atas kehormatan yang diberikan kepada saya dan keluarga saya." Gus Dur santai. Tak terlihat ada excitement di wajah beliau
"Lha ya itu Gus, kita semua tahu pengumuman itu hanya soal waktu saja. Cuma bagaimanapun rakyat dan kaum nahdliyyin kan berhak untuk bangga dan bahagia. Apalagi kan keluarga Tebuireng mencetak rekor Pahlawan Nasional terbanyak, hehehe..." sambung saya
"Bisa saja sampean, Kang... Ini kan bukan berkompetisi, hehehe..." canda GD.
"Benar Gus, tapi tetap saja tiga generasi menjadi Pahlawan Nasional dalam salah satu Republik terbesar di dunia, subhanallah.. Kira-kira menurut njenengan itu artinya apa, Gus?" desak saya
"Kalau saya memaknainya kita kaum nahdliyyin membuktikan patriotisme dan loyalitas kepada Republik dengan kerja keras. Jadi harapan saya tak ada lagi yang bilang kaum Muslimin Indonesia khusunya nahdliyyin diragukan nasionalismenya dan segala rupa kecurigaan semacam itu. Padahal yang saya perbuat selama hidup masih kecil lho Kang dibanding dengan para masyayikh dan sesepuh NU yang dulu berjuang melawan penjajah di medan tempur. Mereka sejatinya lebih berhak ketimbang saya..." Kata beliau. Saya haqqul yaqin melihat mata beliau berkaca-kaca ketika menyebut kata "para masyayikh dan sesepuh" itu.
"Untuk generasi yang akan datang juga Gus?"
"Ya pasti. Semoga generasi muda nahdliyyin selain bangga juga meningkatkan kapasitas mereka sebagai putra-putri bangsa terbaik dan bekerjasama dengan yang lain. Jangan ikut-ikutan jadi eksklusif, apalagi sambil pakai klaim mutlak-mutlakan..."
"Sambil menggunakan kekerasan..." sambung saya
"Persis.... jangan menggunakan kekerasan." kata Gus Dur.
"Memang soal kekerasan itu marak lagi Gus setelah panjenengan meninggalkan kita-kita ini.. Ahmadiyah, ummat Kristen, kini mulai diganggu lagi.." keluh saya
"Saya tahu, Kang, dan berharap Pemerintah bersama-sama dengan para pemimpin agama bisa kerjasama dengan baik, bukannya malah membiarkan kelompok-kelompok yang berbeda saling berkonflik apalagi kalau menggunakan kekerasan..." Jawab GD
"Dan terorisme juga Gus, sekarang cenderung makin berani menyerang aparat keamanan kita terutama Polri.." kata saya memotong
"Memang ndak gampang, karena selain kita menghadapi kekuatan fisik juga melawan pemikiran dan gagasan mereka yang banyak menarik perhatian dan dukungan orang-orang yang mengalami ketertindasan.." terang GD
"Sebetulnya karena memang gagasan atau ideologi mereka yang menarik atau kondisi struktural yang membuat kelompok seperti itu mendapat dukungan, Gus? Karena begini, saya lihat seperti di negara-negara Timteng, Asia Selatan, dan Afrika Utara, yang ikut aktif kan bukan orang miskin dan tak terpelajar. Osama bin Laden itu, misalnya, bukan cuma sarjana teknik tapi juga konglomerat properti dsb. Juga orang-orang seperti Dr Azahari, Noordin M Top dan para pengikutnya di Malaysia dan Indonesia.." tanya saya
"Kayaknya ya keduanya, Kang, saling bersinergi. Ideologi Salafi radikal seperti yang dipakai Alqaeda sekarang kan punya genealogi yang jauh sampai zaman Sahabat, seperti pemikiran kelompok Khawarij itu. Namun juga tanpa dibarengi adanya krisis struktural seperti ketimpangan ekonomi nasional dan global, lalu tercerabutnya nilai budaya lokal oleh pengaruh modernitas, kolonisasi nyata atau terselubung oleh negara adidaya terhadap negara berkembang, bercokolnya rezim otoriter sb, maka ideologi mereka juga tidak akan laku." kata GD
"Jadi dialektika ideologi dan struktur serta perkembangan masyarakat ya Gus..?"
"Selalu begitu. Makanya penyelesaian atau upaya menanggulangi radikalisme juga harus dilakukan secara holistik, tidak hanya dengan menggunakan metode perang. Kadang-kadang itu harus juga dilakukan, misalnya menghadapi teroris seperti Noordin M Top yang sudah mengakibatkan korban nyawa manusia tak bersalah dan hancurnya harta benda dan milik orang. Namun yang tak kalah penting adalah menanggulangi dengan dialog dan pendidikan yang intens agar gagasan yang mendukung kekerasan serta eksklusifisme itu makin mengecil dan dapat diawasi. Memang agak akan bisa menghapus sama sekali, karena adanya di pikiran dan hati orang..." GD menjelaskan panjang lebar.
"Kalau di Indonesia Gus, kenapa justru fenomena radikalisme agama malah marak paska Reformasi, selain karena pengaruh geopolitik global dan derasnya arus informasi dari luar?" Tanya saya
"Karena waktu zaman Pak Harto kan ideologi yang dianggap tak sesuai dengan Orba dibabat dan direpressi secara fisik. Juga banyak orang-orang garis keras sisa-sisa DI/TII yang direkrut oleh penguasa melalui militer dan intelijen digunakan untuk mengawasi kelompok Islam lain. Itu pun masih kadang-kadang ada yang mbelot macam Hispran, Imron cs, Abdullah Sungkar dll. Kalau di kalangan komunis lebih mudah dikontrol karena selein efektivitas militer dan intelijen, juga masyarakat Islam dan nasionalis ikut membantu. Nah setelah reformasi, yang begini-begini ini gak ada lagi yang kontrol secara efektif, apalagi kondisi ekonomi mengalami berbagai krisis dan penguasa paska Reformasi tidak memiliki kapasitas melakukan perubahan yang signifikan. Maka jadilah suasana dan lingkungan demokratis didistorsi habis-habisan untuk dipakai sebagai alat mencari keuntungan pribadi dan kelompok seperti parpol.."
"Nah dalam kondisi seperti ini pemunculan kembali ideologi garis keras seperti Salafi radikal sangat mudah, apalagi pengaruh gerakan kebangkitan islam di dunia sangat memikat generasi muda dan kaum terpelajar Muslim kelas menengah. Mula-mula yang tampil kan gerakan-gerakan "pemurnian" Islam, lalu ada usroh di kampus-kampus dan LSM, disusul gerakan semi politik seperti ICMI yang diapropriasi negara sebelum reformasi. Setelah itu ya sempean lihat sendiri gerakan-gerakan Islam macem-macem baik yang lama maupun yang baru, yang anti kekerasan sampai yang menggunakan teror tumplek bleg ada semua."
"Apa perlu, Gus, dilakukan strategi pasifikasi semacam Orba dulu terhadap yang kelompok dan gerakan radikal?"
"Ya tergantung kepada pemahaman terhadap pasifikasi itu sendiri dan kapasitas pemerintah dan masyarakat sipil untuk melakukan hal itu. yang jelas bahaya sekali kalau pemerintah menggebyah-uyah gerakan Islam seperti masa Orba. Bisa saja ada kelompok Islam yang eksklusif tapi tidak politis, ada yang tampaknya non politis tapi kerjaannya pengin merebut kekuasaan politis melalui agitasi agama. Ada yang seperti NU yang sudah melakukan reformasi soal kiprah politik dengan membuat partai non agama seperti PKB. Ada yang seperti Muhammadiyah yang tidak terang-terangan ikut politik, tetapi punya afiliasi tak resmi dengan PAN. Ada yang seperti PKS yang menggunakan paradigma Ikhwanul Muslimin dengan penyesuaian alam konteks Indonesia. Macem-macem... lha wong namanya juga masyarakat majemuk, Kang.."
"Lha terus bagaimana Gus dengan landasan negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 dihadapkan dengan kompleksitas gerakan dan kelompok Islam serta fenomena radikalisme di Indonesia?" saya mencoba mendesak beliau.
"Bagi orang seperti saya dan ormas Islam seperti NU, Pancasila dan UUD sudah final dan tidak bisa diganggu gugat sebagai landasan bernegara dan berbangsa. Islam sebagai salah satu bagian integral keindonesiaan juga tak bisa diingkari eksistensinya, namun tidak juag menjadi satu-satunya sumber nilai. Islam ya sebagai salah satu dari sekian banyak mozaik yang membentuk keindonesiaan. Makanya NU mengatakan Pancasila sebagai azas tapi Islam sebagai akidah. Keduanya tidak saling bertentangan karena diletakkan pada tempatnya yang tepat. Kalau mau jadi orang Islam di negara Indonesia ya harus menerima Pancasila sebagai landasan berbangsa dan bernegara, selesai. Mempermasalahkan negara-bangsa atau berupaya mengganti Pancasila dan Konstitusi adalah inkonstitusional karena merubah konsensus nasional tentang NKRI."
"Tapi kan tidak semua kelompok Islam dan gerakan Islam mau menerima konsep relasi negara dan islam seperti itu, Gus?" tanya saya
"Selama mereka tidak mendesakkan perbedaan pemikirannya dengan kekerasan dan menyalahkan pihak lain, apalagi mengkafirkan dan menghalalkan darah, ya biarin saja. Kan Indonesia negara hukum dan punya konstitusi. Bila gerakan dan kelompok tersebut memaksakan kehendak dan mencoba melakukan tindakan inkonstitusional ya mesti dihentikan. Pluralisme harus tetap dijaga karena itu adalah jatidiri bangsa. Namun konsensus nasional dan landasan negara seperti Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diganggu gugat selama masih mau menjadi NKRI. Tetapi bagaimana menjalankan amanat keduanya, nah, jangan juga memonopoli tafsirnya seperti zaman Orba. Itu yang membuat Pancasila lalu malah kehilangan kekuatannya karena ada kelompok-kelompok yang merasa tidak dianggap atau tidak dilibatkan dan diakui eksistensinya."
"Hehehe... kok malah seperti kuliah Pancasila, Gus..." kata saya menggoda beliau
"Jelek-jelek gini dulu juga jadi Manggala P4 lho Kang, tapi gak pernah mengajar, hehehe... soalnya malah bikin pusing yang nyuruh ngajar..."
"Lha lalu soal kekerasan terhadap kelompok-kelompok seperti Ahmadiyah, HKBP segal itu, Gus?"
"Ya ditegasi saja yang bikin onar dan otaknya. Yang repot kan seperti saya dulu katakan, lha otaknya juga pada bercokol di lingkaran penguasa sih...hahahaha... Makanya repot diberantas. Sampean kayak gak tahu saja, kan yang pada bikin aksi pembunuhan Kyai-kyai di Jatim sebelum reformasi ya itu-itu aja masih ada..." GD mulai menyindir. Saatnya pamit..
"Inggih Gus, suwun ya, yang jelas saya sekali lagi matur selamat buat panjenengan, semoga bisa menginspirasi kita-kita melanjutkan perjuangan njenengan Gus.."
"Terimakasih Kang, tapi ya biasa biasa saja. Oh ya itu tulisan soal kuburan saya itu saya suka, Kang, walaupun Solah adik saya salah paham. Memang harus disentil begitu sebagai peringatan supaya Pemerintah tidak semaunya... "
"Assalamu'alaikum, Gus.."
"Salaam.."
0 comments:
Post a Comment