Oleh Muhammad AS Hikam
Presiden University
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI ROJI'UUN. Untuk kesekian kalinya ummat Muslim di Indonesia harus membaca petikan ayat Al-Qur'an ini untuk mendoakan saudara-saudari yang menjadi korban kecelakaan Kereta Api (KA) yang menimpa para penumpangnya. Demikian juga seluruh bangsa kita yang mendengar kabar duka ini berdoa untuk para korban. Hari ini (2 Oktober 2010) terjadi dua tabrakan KA yang menewaskan 34 orang di Petarukan, Pemalang, dan 1 orang di Purwosari, Solo. Kita selayaknya berdoa semoga arwah para korban kecelakaan tersebut diterima di sisi Allah swt sesuai amal kebajikan mereka di dunia. Kita juga berdoa, semoga para keluarga, kerabat dan handai tolan mereka diberi kesabaran, keikhlasan, dan ketabahan menghadapi musibah ini. Allahummaghfir lahum, wa'aafihi wa'fu anhum... Alfatihah...
Namun setelah itu, jujur saja saya juga harus mengucap istighfar (Astaghfirullahal 'Adzim) begitu membaca ucapan Dirjen Perkeretaapian Tunjung Inderawan (TI) ketika mengomentari kecelakaan tersebut. Dia bilang, "peristiwa kecelakaan ini memang di luar dugaan." Semoga detik.com yang mengutip ucapan ini memang tidak salah kutip dan menuliskan apa adanya, tidak ditambah atau dikurangi. Jika memang itu kata-kata yang diucapkan oleh TI, maka alangkah malangnya nasib bangsa ini. Dalam situasi bangsa yang penuh masalah dan kondisi perkeretaapian nasional yang demikian mengenaskan, ternyata yang diangkat dan dipilih menjadi seorang Dirjen Perkertaapian adalah seorang yang sangat tidak cerdas dan tidak memiliki empati terhadap peristiwa yang menyedihkan ini.
Maksud saya, ucapan yang dilontarkan oleh TI sangat tidak masuk akal. Kalau musibah yang terjadi di Pemalang itu bukan di luar dugaan, tentulah namanya juga bukan kecelakaan. Yang namanya kecelakaan, pasti tidak direncanakan, tidak diinginkan, dan lebih-lebih, tidak akan diduga. Bagi saya, statemen seperti ini hanya satu saja maknanya. Yaitu bahwa TI sangat tidak sensitif terhadap apa yang terjadi di dalam wilayah kerjanya dan bahkan tidak memiliki empati terhadap permasalahan. Nah, jika ini kita refleksikan, maka kita juga tidak heran bila masalah per-KA- an di negeri ini akan tetap semrawut karena manajer topnya juga tidak memenuhi syarat minimum seorang pengelola: empati terhadap apa yang dikelolanya.
Masih segar daam ingatan saya saat diundang dalam sebuah seminar tentang manajemen perkeretaapian di LIPI beberapa waktu lalu. Saya mengamini pendapat para pengamat dan pakar perkeretaapian yang mengatakan bahwa tingkat keamanan penumpang KA cenderung semakin rendah, kalau dilihat dari statistik jumlah kecelakaan beberapa tahun terakhir. Saya bahkan sempat melontarkan harapan bahwa para penumpang KA di negeri ini tidak seperti para korban Holocaust yang diangkut KA menuju kamp konsentrasi Hitler, karena saking besarnya resiko keamanan mereka.
Kondisi seperti ini, secara logis memerlukan perhatian dan keseriusan penanganan dan pengelolaan sistem KA Nasional. Tetapi, kalau sikap Dirjennya saja seperti ini, mana mungkin akan terjadi perbaikan. Boro-boro mengikuti tuntutan publik bahwa dia harus mengundurkan diri. Bahkan untuk mengatakan: "saya bertanggung jawab terhadap peristiwa ini, dan hal ini adalah kesalahan manajemen saya" saja tidak. Malah yang keluar adalah "kecelakaan ini di luar dugaan." Memang ada ucapan permintaan maaf dari Menhub dan sang Dirjen, dan janji akan mengurus para korban dan menyelidiki sebab-musabab kecelakaan, serta beberapa statemen klise yang lain. Padahal, menurut para pengamat perkeretaapian, kemungkinan terjadinya kecelakaan KA di negeri ini memang tinggi karena sistem manajemen, termasuk keamanan, yang tidak memadai. Salah satunya, sudah lama ditengarai bahwa sistem sinyal KA di Indonesia sangat campur aduk dan kemungkinan terjadi "glitch" juga besar. Seorang top manajer seperti Dirjen Perkeretaapian, apalagi Menteri Perhubungan, haruslah menunjukkan tanggungjawabnya bukan hanya dengan permohonan maaf sekedarnya dan menemukan solusi melalui pengkambing-hitaman kepada "nasib", "human error", "ketak- terdugaan", dll. Jika cuma begitu sikap dari pengelola, ya nanti kalau ada kecelakaan lagi, tinggal muter kaset seperti itu.
Kondisi sistem perhubungan, baik darat, udara, dan laut di negeri ini pada beberapa tahun belakangan memang sangat menggidikkan hati. Hanya karena keterpaksaan jualah jika kemudian publik di negeri ini menerima nasib manakala mereka sudah berada di atas angkutan umum di darat, laut dan udara. Seandainya para maskapai penerbangan Singapura, Maleysia, Uni Emirat Arab, Thailand dsb. diperbolehkan bersaing dan membuka layanan penerbangan domestik Indonesia secara terbuka, niscaya maskapai milik pemerintah dan swasta negeri ini bakal kolaps. Mengapa? Karena manusia, termasuk manusia Indonesia, pada akhirnya tetap memprioritaskan keamanan (safety), ketepatan (predictability) dan kenyamanan (comfortability), bukan hanya harga yang murah dalam memilih. Sementara Pemerintah dan sektor swasta Indonesia, tetap saja saling berkolaborasi untuk tidak mau meningkatkan sistem pelayanan transportasi karena mengejar profit sebanyak-banyaknya. Dengan berlindung di balik nasionalisme, peduli rakyat, harga murah dll. maka kalaupun kecelakaan lalu lintas semakin meningkat tiap tahun dan fasilitas jasa transportasi yang terpuruk (contoh mutakhir: mati listrik di bandara yang, konon, bertaraf internasional!), semuanya diabaikan.
Pertanyaan saya adalah, perlu berapa ribu nyawa lagi yang hilang sia-sia akibat kecelakaan lalu lintas seperti di Pemalang dan Solo, serta yang tenggelam di laut dan kecelakaan udara, sebelum Pamerintah bangun dari tidur lelapnya dan para pengelola sistem transportasi nasional ini mau bertanggungjawab dan meningkatkan mutu pelayanan mereka?
Saturday, October 2, 2010
Home »
» PERLU BERAPA RIBU NYAWA LAGI AGAR PERKERETAAPIAN DIPERHATIKAN?
0 comments:
Post a Comment