President University
Istana Kyoto |
Minggu pagi yang mestinya saya nikmati, ternyata malah membuat saya tercenung dan setelah itu merasa agak gundah. Kegundahan ini bukan karena membaca berbagai berita politik nasional yang kebanyakan memang berisi cerita duka rakyat dan kemelut di kalangan elit politik. Justru kegundahan ini gara-gara saya membaca laporan di The New York Times edisi Online, yang ditulis oleh Martin Fackler, (16 Oktober 2010) tentang Jepang. Artikel ini menggambarkan Jepang yang sedang melaju ke arah kebangkrutan yang ditandai oleh terjadinya deflasi dan pertumbuhan "jalan di tempat" selama beberapa tahun terakhir. Kalau hanya kebangkrutan ekonomi, bagi saya tidak teramat mengejutkan. Berikutnya, Jepang juga sedang mengalami proses "gulung tikar" dei berbagai industri kebanggaannya yang pada dasawarsa delapan puluhan sering diprediksi bisa melalap dan menggantikan kehebatan AS. Kini industri-industri itu dengan cepat dikalahkan oleh industri milik Korsel dan Cina. Dua raksasa ekonomi dan industri ini pelan tapi pasti mulai mengambil alih kekuatan Negeri Matahari Terbit itu.!
Kebangkrutan ekonomi dan industri tersebut disusul dengan munculnya fenomena sosial berupa degradasi dalam semangat yang selama ini membuat bangsa dan negara Sakura itu begitu menonjol di dunia. Inilah yang sejatinya membuat saya merasakan kegundahan tadi. Rasanya hampir mustahil, bahwa hanya dua dasawarsa setelah tahun delapanpuluhan kini generasi mudanya merasa dirinya sebagai generasi yang paling pesimis untuk dapat menikmati kehidupan, dan dengan angka bunuh diri yang tertinggi. Tulisan Flacker, yang mewawancarai banyak pemilik usaha dan sarat dengan angka statistik perdagangan dan industri, cukup meyakinkan saya bahwa Jepang sedang berada dalam proses pemunduran (declining process) dan tampaknya belum ada pertanda akan bisa menyetopnya. Alih-alih akan mengembalikannya ke masa ketika ada istilah "Japan, Inc," "Nihon Ichi ban", "Japan the Number One," dsb!
Kemunduran bangsa Jepang yang begitu cepat tampaknya juga terasa gaungnya di dunia pendidikan di AS. Kini kelas-kelas bahasa Jepang atau studi Jepang tampak lengang, karena mahasiswa, dosen, dan periset lebih tertarik kepada bahasa-bahasa Korea dan Mandarin serta studi kedua negara ini. Saya jadi ingat kata anak saya, yang pada Juli lalu kebetulan kembali untuk liburan musim panas, bahwa ia akan mengambil Bahasa Mandarin pada semester musim semi yad. Padahal saya tahu ia sangat mencintai bahasa Jepang dan budayanya, khususnya film-film Manga atau anomasi komik Jepang itu. Tampaknya anak saya pun telah terjangkiti "fad" baru di AS, yaitu belajar bahasa dan budaya Cina yang mengalahkan minat mempelajari bahasa dan budaya Jepang di kampus-kampus Universitas unggulan di AS, sebuah fenomena yang nyaris tak terpikirkan ketika saya masih sekolah di sana pada ujung dekade delapanpuluhan dan awal sembilanpuluhan!
Tampaknya, "hukum sejarah" yang mengatakan bahwa bangsa-bangsa akan muncul dan tenggelam memang berlaku. Di majalah Times, dua minggu lalu, saya juga membaca laporan mengenai kondisi dan masa depan AS yang, menurut kebanyakan rakyat di sana, juga sedang mengalami proses "mirip kemunduran Kekaisaran Turki Osmani pada abad 19". Sejujurnya, saya tidak terlalu memasalahkan bangsa-bangsa lain mengalami kemunduran, apalagi kalau mereka adalah bangsa-bangsa yang memang sudah pernah maju dan menjadi kekuatan dunia, seperti Kekaisaran Romawi, Imperium Presia, Imperium Osmania, Amerika, Cina, dan Jepang, dan bahkan Rusia sekalipun. Tapi yang sungguh membuat saya gundah adalah bagaimana dengan sebuah negara yang belum pernah bisa dianggap maju (apalagi ikon dunia), tetapi justru kini sedang dibayang-bayangi kemunduran yang terus menerus karena pemimpin dan rakyatnya tampaknya "sepakat" untuk membiarkan proses itu berlangsung?
Sebuah renungan Minggu pagi yang berat, memang!
0 comments:
Post a Comment