Sunday, September 26, 2010
Home »
MISCALLENOUS
» WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (10)
WAWANCARA IMAJINER DENGAN GUS DUR (10)
Oleh Muhammad AS Hikam
President University
Ketika sampai di tempat tinggal Gus Dur, malam masih muda dan purnama memancarkan sinar gemilang. Beliau sedang berada di taman menikmati keindahan sang rembulan ketika saya menghampiri dan mengucapkan salam:
"Assalamu'alaikum, Gus..." Kata saya sembari menyalami beliau dan mencium tangannya.
"Salaam, Kang... piye waras, tah? Kok tumben malam-malam..." Sambut beliau seperti biasa.
"Malem Sabtu, Gus, besuk kan nggak ke kantor, hehehe..." Jawab saya.
"Kita ngobrol di taman ini saja sambil menggadangi rembulan, kayak istilah di buku Silat Cina itu...hehehe..."
"Inggih Gus, indah banget ya suasananya. Itu pohon apel kok bisa bercahaya keemasan kalau malam ya Gus?"
"Ya inilah salah satu kekuasaan Allah swt yang manusia di dunia belum bisa melihatnya.. Subhanallah.." jawab beliau sambil istighfar.
"Subhanallah... sayangnya di negeri kita saat ini manusia malah saling berkonflik dengan alasan agama, Gus." Kata saya membuka topik.
"Persoalan pokoknya ada di pemimpinnya, bukan rakyatnya, apalagi rakyat kecilnya. Mereka ini kan cuma dibawa-bawa untuk dipakai dan dimanipulir oleh para pemimpin..." Kata beliau.
"Maksudnya pemimpin di pemerintahan, Gus?" Sela saya.
"Bukan cuma itu, malah saya pikar-pikir sumbangan terbesar dalam menciptakan konflik yang nggak karu-karuan itu kok para pemipin agama dan masyarakat. Ya para ulama, pendeta, cendekiawan, dan lain lain. Nah lalu ditumpangi kepentingan politik jangka pendek dari politisi dan penguasa. Klop lah. Masyarakat dan komunitas beragama yang dibawah merasa wajib membela para pemimpin dan agamanya atau malah Tuhannya padahal Tuhan tak perlu dibela." Kata beliau
"Mirip judul buku njenengan Gus," celetuk saya..
"Hehehe... tapi bener toh, Kang? Selama ini konflik dan kekerasan atas nama agama di Indonesia kan akarnya ada di pemahaman keagamaan yang kemudian diekspressikan dalam pengalaman beragama di komunitas dan masyarakat, tetapi tidak nyambung, tidak kompatibel. Misalnya pemahaman relasi agama Islam dengan non-Islam. Bagaimana bisa nyambung dengan kenyataan masyarakat majemuk kalau pemahaman keagamaan mengajak untuk bermusuhan, misalnya?" Kata GD
"Contoh konkretnya bagaimana, Gus?" Saya meminta elaborasi beliau.
"Gini ya, kan banyak tuh para ustadz dan aktivis gerakan Islam yang mengutip ayat "waman yabtaghi ghoiral islaaama dinan, falan yuqbala minhu wa huwa fil aakhiroti minal khosiriin," dan juga "waman lam yahkum bimaa anzalallaah, fa ulaaika humul kaafirun/ dholimuun/faasiquun." (barangsiapa yang mengikuti din selain Islam maka Allah tidak akan menerimanya, dan ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang merugi.... dan barangsiapa tidak menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah maka ia termasuk orang-orang Kafir/ Dzalim/ Fasik). Pemahaman yang kurang tepat terhadap ayat-ayat seperti itulah yang bisa menjadi bibit hubungan yang penuh dengan suasan konflik..." Gus Dur berhenti sejenak, sambil menghela nafas.
" Sebagian para Kyai dan Ustadz dan tokoh pergerakan Islam, terutama yang beraliran fundamentalis, menafsiri ayat-ayat itu seolah-olah ummat Islam memusuhi mereka yang beragama bukan Islam karena toh mereka ini dianggap kafir dan ditolak Allah swt. Demikian juga kalau ada masyarakat atau negara yang tidak menerapkan Hukum Syari'ah, maka lalu dianggap negara atau masyarakat yang Kafir, dzalim atau Fasik. Karenanya harus ditolak dan diperangi, kalau perlu menggunakan kekerasan dan makar. Pandangan saya, ayat-ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar kita memusuhi non Muslim dan memaksakan Hukum Syariah di negeri kita. Ayat pertama kaitannya adalah urusan dalam (self-understanding) kita sendiri tentang amal, yaitu bahwa amal perbuatan yang diberi pahala di sisi Allah swt, hanyalah amal perbuatan orang Islam. Jadi kata "lan yuqbala" itu artinya adalah "lan yutsaabu" (tidak diberi pahala). Konsekuensinya siapa saja bisa beramal dan berbuat termasuk non Muslim dan ummat Islam tak boleh menolak perbuatan-perbuatan orang di luar mereka. Perkara amal itu diberi pahala atau tidak kan prerogatif Allah swt, nanti di akhirat. Bukan urusan manusia di dunia."
" Kalau soal penerapan Syariah, Gus?"
" Yang kedua, ayat tentang penerapan hukum itu, kita harus tahu bahwa hukum itu dinamis, bergerak. Ia sangat terkait dengan sejarah perkembangan masyarakat, bangsa, negara. dsb. Kalau hukum Islam yang dimengerti hanya sempit sebagaiamana dimengerti dan dipahami oleh satu kelompok, pasrti malah membuat Islam tidak "rahmatan lil-'alamin." Hukum Syari'ah tidak harus kaku, tidak harus memakai nama Hukum Islam. Lha kalau dalam prakteknya diskriminatif, kan sama juga bohong. Di negeri yang majemuk seperti Indonesia, Fiqh hanyalah bagian komplementer dari sistem hukum negara. Ia harus dipelihara dan dikembangkan kapasitasnya, tetapi hukum positif harus tetap berupa hukum nasional yang dibuat oleh mereka yang berwenang sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi."
"Lha itu Gus ada penerapan Syariah di Aceh..." Saya mencoba menyela
"Penerapannya seharusnya tidak boleh kontradiksi dengan hukum nasional. Saya tidak setuju ada hukum pidana Islam tersendiri seperti yang berlaku di Aceh, karena itu melanggar hukum nasional KUHP. Otonomi Khusus di Aceh berlaku untuk melindungi budaya termasuk tradisi Islam. Namun demikian dalam soal hukum, seharusnya hanya terbatas pada hukum privat. Kalau dipaksakan seperti sekarang, bisa berdampak negatif bagi kehidupan bernegara secara keseluruhan." Kata GD menjelaskan/
"Memang Gus, keinginan meniru penerapan Syariah seperti di Aceh muncul misalnya di Papua Barat, dengan Perda yang ingin menyatakan daerah itu eksklusif untuk ummat Kristen. Konon ada yang menguslkan Perda Injil atau semacam itu." Kata saya.
"Nah itulah, nanti jangan-jangan Bali, Minahasa, Maluku dll pada ikut-ikutan. Nah ini yang saya maksud Pemerintah dan elit politik akhirnya terpengaruh karena kepentingan sesaat mereka akhirnya tergoda mengikuti tarikan-tarikan partikularisme seperti itu." Kata Gus Dur
"Makanya kata kuncinya mengenai soal konflik yang melibatkan agama adalah soal pemahaman keagamaan yang disesuaikan dengan konteks perkembangan masyarakat dan negara. Indonesia itu walaupun secara jumlah dikatakan mayoritas Muslim, faktanya adalah masyarakat majemuk. Para founding fathers kita, termasuk mBah Hasyim Asy'ari dan Pak Wahid Hasyim, menyadari sepenuhnya kekhasan ummat islam dan warga bangsa kita. Makanya mereka tidak ngotot memaksakan penerapan Syariah Islam. Yang penting semangat dan pesan substantif Islam seperti keadilan, kepastian hukum, perlindungan hak-hak dasar (ushulul khams), dan kepentingan publik (al maslahah al 'ammah) tercakup dalam hukum positif RI, sudah cukup."
"Terus gimana Gus menyelesaikan konflik semacam di Bekasi itu?" tanya saya.
"Ada dua asek yang harus dikerjakan, Kang. Aspek pemahaman tadi yg harus dikerjakan oleh pemimpin agama dan masyarakat Indonesia, bukan saja yang Muslim tetapi semuanya. Kedua ya negara, mesti tegas dan imparsial kalu menghadapi pelanggaran hukum. Imparsialitas atau tidak memihak itu dalam pengertian membuat aturan dan bertindak melaksanakan aturan. Aturan yang diskriminatif semacam Keputusan Bersama Menteri (KBM) tentang pendirian rumah ibadah, ya mesti direvisi. Lalu penegakan hukum terhadap para provokator, inisiator, dan pelaku kekerasan harus diterapkan tanpa memandang bulu. Jangan karena khawatir tidak populer dalam Pemilu dan pilkada, lalu bisa diobok-obok para pembuat onar. kalau ada pejabat negara yang ikut menjadi otak kerusuhan itu ya tangkap saja dan diadili. Gitu aja!"
"Suwun Gus, sudah agak larut ini, walaupun udara kok tidak terasa dingin, ya.. saya pamit dulu, Insya Allah, sowan lagi nanti."
"Iya Kang, mudah-mudahan pemerintah dan pemimpin agama bisa kerjasama dengan baik. Kasihan rakyat yang sudah miskin masih diprovokasi untuk berantem sesama rakyat. Elitnya mah.. enak-enakan ngomong sana sini, ditayangkan tivi, jadi selebriti...hehehe...."
"Assalamu"alaikum, Gus." Saya mengucapkan salam setelah mencium tangan beliau.
"Salam Kang.."
0 comments:
Post a Comment