President University
Pemakaman jenazah Gus Dur di Tebuireng, Jombang |
Barangkali karena sedang suntuk menghadapi perkembangan situasi yang serba rumit berkaitan dengan relasi antar-agama dan berbagai implikasinya, Pemerintah kini berusaha memainkan jurus mengambil hati, khususnya hati para nahdliyyin. Tanpa basa-basi, hari ini (20 September 2010) rapat Kabinet mengagendakan sebuah topik baru: renovasi makam Almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Jombang. Kendati memang rencana pembangunan itu sempat muncul, dan langsung memicu kontroversi karena akan menelan ratusan miliar rupiah, tetapi kabar itu masih sebatas wacana di tingkat Kabupaten Jombang atau paling jauh Propinsi Jatim. Baru hari ini Presiden secara resmi membawa agenda tersebut sampai ke sidang Kabinet dan langsung menganggap pembangunan makam ini prioritas. Itulah setidaknya yang dikatakan oleh Menko Kesra Agung Laksono kepada para kuli tinta. Tentu tidak ada asap tanpa ada api, kalau soal pembangunan makam - yang menurut keluarga Almaghfurlah sendiri, konon, tak perlu itu - lalu dibawa ke sidang Kabinet dan serta merta disiarkan kepada pers.
Saya bukan penggemar teori konspirasi atau suka dengan istilah "pengalihan isu" yang kerap dialamatkan kepada penguasa yang sedang kebingungan. Namun harus saya akui rasanya janggal juga kalau Pemerintah kemudian membawa-bawa soal renovasi makam GD yang sepertinya tidak menjadi prioritas bagi kepentingan bangsa atau rakyat itu kemudian menyeruak jadi agenda rapat maha penting itu. Alasan bahwa negara perlu menghormati Sang mantan Presiden ke IV dan Bapak pluralisme Indonesia pun, terdengar kurang pas. Pasalnya, sudah jelas bahwa rakyat umumnya dan kaum nahdliyyin khususnya tidak merasa butuh ada renovasi makam beliau. Apalagi tradisi NU pantang membuat makam yang mewah-mewah macam milik para Sultan atau raja-raja. Yang sangat dibutuhkan, menurut mereka, adalah fasilitas bagi ribuan peziarah yang tiap hari membanjiri makam Abdurrahman Sang Penakluk: pelebaran jalan ke makam, penataan tempat parkir, dan penggeseran gothakan atau asrama para santri di ponpes Tebuireng. Semuanya itu dalam rangka supaya para peziarah merasa lebih nyaman dan khusyu'.
Bagi GD dan para anggota keluarga beliau, tak ada terbersit sedikitpun untuk meminta agar makam sang Guru Bangsa itu menyaingi atau sekedar mirip Astana Giribangun atau makam Bung Karno di Blitar atau sebangsanya. Sesuai tradisi pesantren NU, maqbaroh (makam) Gus Dur ya seperti makam-makam sang ayah, KH Wahid Hasyim, dan Roisul Akbar NU, mBah Hasyim Asy'ari, sang kakek tercinta. Tradisi pemugaran makam bukannya dilarang, tetapi seperti makam para auliya' (para wali), biasanya lebih mementingkan tempat bagi peziarah, karena merekalah yang benar-benar memerlukan kenyamanan, kekhusyu'an, dan suasana kesyahduan. Jadi kalau soal memugar makam GD sendiri, sejatinya hal itu adalah urusan nomer sekian. Dan terus terang hal itu tidak perlu jadi urusan Pemerintah. Kalau memang keuarga Almaghfurlah mau, tinggal mengajak urunan kepada kaum nahdliyyin, pasti milyaran rupiah dengan cepat akan terkumpul. Dan Insya Allah tidak akan ditilep satu senpun!
Kalau Pemerintah masih ngotot dengan rencana memugar makam GD, ia beresiko mengulangi lagi kesalahan taktis tetapi berdampak strategis. Alih-alih membuat rakyat dan para peziarah senang, ia justru akan menuai kritik dan mungkin penolakan karena tidak sesuai dengan tradisi kaum nahdliyyin yang lebih mengutamakan kesederhanaan. Apalagi jika hasil akhirnya hanya akan membuat kegiatan ziarah makin repot atau membuat kedekatan makam GD dengan rakyat kecil malah terganggu. Sebagai orang yang pernah ikut galang-gulung dengan beliau, saya tahu persis bahwa salah satu hal yang paling beliau hindari dalam hidup adalah menyusahkan orang lain. Saking tidak mau merepotkan orang, saya kadang-kadang sering kebingungan kalau menawari beliau apakah memerlukan ini atau itu ketika bertamu. Beliau pasti bilang: "ndak usah repot, Kang.." atau: "nanti saja kalau sudah semua kebagian.." Kendati sikap itu kadang juga merepotkan beliau, tetapi memang itulah pilihan dan etiket yang beliau pakai.
Jadi, saya berharap bahwa Pemerintah tidak terlalu kemayu ingin menyenangkan ummat Islam atau kaum nahdliyyin tetapi dengan cara yang kurang pas. Kalau Bupati, DPRD, Gubernur, dll maunya mewah-mewahan, ya memang cuma sampai di situ kapasitas konseptual tentang penghormatan yang ada di kepala mereka. Tetapi jangan sampai Pak SBY, yang notabene adalah orang yang dekat dan sangat menghormat GD, tidak tanggap terhadap sasmito dari keluarga GD dan tradisi kaum nahdliyyin. Negara, memang wajib menghormati mantan Presidennya, dan Gus Dur lebih dari layak untuk memperoleh penghormatan tersebut. Namun alangkah baiknya jika penghormatan tersebut sesuai dengan tempatnya atau dalam bahasa pesantren disebut "muqtadzol hal". Artinya disesuaikan dengan sifat beliau yang sangat akrab dengan rakyat dan tradisi kaum nahdliyyin tidak menganggap penting kemewahan sebuah makam. Akan lebih bijaksana dan mengambil hati para nahdliyyin dan rakyat pada umumnya jika yang diprioritaskan adalah pelayanan kepentingan publik, dalam hal ini fasilitas bagi publik umumnya dan peziarah khususnya.Insya Allah jasa Pak SBY akan terpatri dalam sanubari jutaan peziarah yang telah, sedang, dan akan terus datang ke maqbaroh GD sampai hari akhir nanti.
Jazakumullah Khairal Jaza', Pak SBY...
0 comments:
Post a Comment